Ahok sebagai Komisaris Utama dan gebrakannya
Bukan lagi rahasia, publik memang menilai Pertamina selama ini dinilai terjadi pemborosan disana-sini. Tidak efisien sehingga harga BBM nya tidak bisa murah. Melalui Menteri BUMN Erick Tohir, Presiden Jokowi memberi tugas utama pada Ahok untuk efisiensi Pertamina. Ahok diminta menurunkan impor BBM Pertamina yang turut menyebabkan defisit neraca perdagangan dan memberantas mafia migas.
Pada Februari 2020, sekitar 3 bulan mempelajari Pertamina, Ahok menggebrak. Ahok membongkar kebiasaan lama tidak transparannya pengadaan yang selama ini dilakukan Pertamina. "Mulai hari ini, akses informasi operasional PT Pertamina terkait pengadaan crude (minyak mentah), LPG, dan BBM termasuk status kapal charter sudah dapat diakses melalui website resmi perseroan," kata Ahok melalui akun Twitter-nya, @basuki_btp. Ini langkah jitu, pengadaan ini besar nilainya, perlu ada transparansi, agar publik dapat mengawasi.
Baru-baru ini, ada pemangkasan jumlah Direksi Pertamina tentunya langkah yang tepat. Selain menghemat biaya renumerasi, juga mempercepat pengambilan keputusan kolektif pada rapat-rapat Direksi. Tidak mungkin pula Ahok yang menjadi Komisaris Utama tidak ikut merumuskan keputusan ini. Cuma dia 'pura-pura' berkelit ketika ditanya oleh wartawan. Strategi komunikasi bahwa memang Kementerian BUMN lah yang memutuskan demikian. Joss.
Nampaknya Ahok cepat belajar. Proses bisnis Pertamina dia kuliti satu persatu. Belakangan ini muncul pula wacana penghapusan BBM bernilai oktan rendah. Pertalite dan premium rencananya akan dihapus. Isu ini menjadi ramai diperbincangkan di ruang publik. Namun demikian bukan Ahok saja yang 'gemas' dengan BBM beroktan rendah yang mengandung timbal ini.
Beberapa lembaga atau tim juga telah mengusulkan penghapusannya bahkan jauh-jauh hari. Mari kita cek:
Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal pertama kali merekomendasikan pada tahun 2000
Dilansir dari laman Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), sebuah lembaga swadaya masyarakat, Komite telah melaksanakan kegiatan lokakarya pada tanggal 28-29 Februari 2000, bertemakan “ Penghapusan Bensin Bertimbel Sebagai Kebijakan Energi Bersih Di Indonesia”. Direkomendasikan agar tahun 2003 Indonesia sudah bebas dari bensin bertimbal. Masa itu harga BBM masih Rp. 1.150per liter. Untuk awal, KPBB mengusulkan agar Jabodetabek menjadi sasaran pertama penghapusan bensin bertimbal ini tahun 2001.
Pada April 2018, KPBB lagi-lagi berikan beberapa rekomendasi pada Pemerintah, diantaranya usulan untuk segera menghapus penjualan Premium88, Pertalite90, Solar48, Perta-Dex, dan Pertamax karena sudah ketinggalan zaman dan tidak memenuhi standar Euro4 yang diadopsi pada 10 Maret 2017 lalu. Rekomendasi lain yaitu reformulasi perhitungan dan kebijakan harga BBM secara transparan dan akuntabel.
Pada Agustus 2019, Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB mengimbau, Gubernur DKI Jakarta sesegera mungkin untuk mengendalikan pencemaran udara, antara lain melarang penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. "Bahan bakar yang tidak ramah lingkungan akan memicu tingginya emisi dari kendaraan bermotor. Nah, bahan bakar yang tidak ramah lingkungan ini, antara lain Premium, Pertalite, Solar 48 (solar bersubsidi), dan Solar Dexlite," ujar pria yang akrab disapa Puput tersebut dalam satu forum diskusi.
Jadi sebetulnya 20 tahun lalu sudah ada rekomendasi dari KPBB. Bukan hal baru wacana penghapusan BBM oktan rendah ini.