Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ahok Dalang Rencana Penghapusan Bensin Bertimbal?

20 Juni 2020   08:03 Diperbarui: 20 Juni 2020   18:23 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kajian biaya kesehatan akibat cemaran udara di Jakarta dari Universitas Indonesia (kpbb.org)

Akhir tahun 2014, Faisal Basri, yang memimpin Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM), yang ditindaklanjuti dengan pembubaran Petral. Tim RTKM memberikan 12 rekomendasi terkait tata kelola dan niaga migas. Satu diantaranya berupa rekomendasi penghentian impor RON 88 (Premium) untuk digantikan dengan RON 92. Faisal menjelaskan bahwa di Asia Tenggara tidak ada negara yang menggunakan RON 88. Jadinya, Indonesia membeli minyak untuk spesifikasi RON 92 yang produknya dikenal dengan Pertamax. 

Faisal Basri, Ketua Tim RTKM (Kompas/RA Mozes)
Faisal Basri, Ketua Tim RTKM (Kompas/RA Mozes)

Tim RTKM menyebut keharusan memblending bensin impor sehingga spesifikasinya sama dengan RON 88 membuat tidak efisien. Produksi kilang domestik perlu dialihkan dari bensin RON 88 menjadi bensin RON 92. Begitu juga dengan solar, ditingkatkan kualitasnya hingga setara Sola 0.25 persen.  

Jadi sebetulnya, wacana penghapusan bbm oktan rendah ini, sudah direkomendasikan oleh Tim RTKM sejak 6 tahun lalu. Tidak sama sekali baru.

Pernahkah Ahok mengusulkan Premium dihapus?

Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengusulkan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium tidak lagi dijual di Jakarta. Dia berpendapat premium perlu dihapus mengingat polusi yang sedemikian buruk di Jakarta perlu diperbaiki selain dengan transportasi umum yang disediakan, juga dengan penggunaan BBM yang lebih bersih. Namun waktu itu wacana itu tidak terealisasi karena adanya peralihan pimpinan DKI Jakarta.

Tentu wacana itu muncul dari kacamata Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta pada masa itu. Namun saat ini tentu Ahok punya pandangan tersendiri setelah berada dalam jajaran Pertamina dan tahu betul proses bisnis yang terjadi disana. Menimbang efisiensi dab hal positifnya, Ahok juga mungkin mengamini wacana ini.

Memangnya apa ruginya kalau dihapus? 

Rasanya ketimbang ruginya apa, lebih menarik membahas apa keuntungan dengan menggunakan BBM beroktan >91, antara lain.

Lingkungan dengan kualitas udara yang lebih baik

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No: P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017, mengatur soal baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor mewajibkan Pemerintah menetapkan penggunaan BBM tipe Euro4 atau setara BBM oktan minimal 91 . Ini berarti, produk Premium memang harus dihilangkan secara bertahap dari konsumsi kendaraan.

Pembakaran mesin yang lebih sempurna dengan BBM beroktan tinggi menambah kinerja mesin kendaraan, dan secara langsung mengurangi emisi gas rumah kaca ke udara. Kualitas udara di kota-kota padat penduduk akan meningkat jauh lebih baik. Misalnya Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan dan sekitarnya.

Apalagi Indonesia juga memiliki komitmen penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam Paris Agreement 2015, kita menjanjikan pada dunia untuk mengurangi 29 - 41% emisi pada tahun 2030 nanti. Maka peralihan pada BBM rendah emisi juga menjadi penting.

Paling ideal sebetulnya dengan beralih menggunakan kendaraan listrik. Sama sekali menghilangkan emisi gas rumah kaca dari mesin kendaraan. Sebab tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak. Namun demikian, perlu waktu untuk proses transisi bertahap menuju kesana. Untuk saat ini, ketimbang mengganti kendaraannya, mengganti jenis bahan bakarnya yang paling rasional.

Penghematan biaya kesehatan yang besar

Relevan dengan aturan baku mutu emisi di atas, udara yang sehat akan membuat masyarakat tidak rentan penyakit. Dalam kajian KPBB, mengutip hasil studi dari Universitas Indonesia 1991, substansinya masih up to date hingga kini. Biaya kesehatan yang ditanggung Indonesia akibat pencemaran udara sangatlah besar nilainya. 

Studi ini mengestimasikan dampak dari adanya timbel pada bensin di Jakarta sebanyak 62.000 kasus penyakit tekanan darah tinggi, 350 kasus penyakit jantung, 340 kematian dan 300 ribu points penurunan IQ pada anak-anak. Dampak dari menurunnya kesehatan, masyarakat menanggung biaya yang besar. Menurut studi Bank Dunia, pada tahun 1990 saja, biaya itu mencapai US$ 62, 4 juta per tahun. Saat itu kurs sekitar Rp. 1.800/US$. Besarannya setara Rp. 112 miliar per tahun. Hanya di Jakarta. Mungkin Ahok membaca dokumen ini hingga pernah mengusulkan penghapusannya di 2016 lalu, meski tidak terealisasi. 

Kajian biaya kesehatan akibat cemaran udara di Jakarta dari Universitas Indonesia (kpbb.org)
Kajian biaya kesehatan akibat cemaran udara di Jakarta dari Universitas Indonesia (kpbb.org)

Bayangkan jika angka ini dihitung secara nasional. Dengan jumlah perbandingan penduduk yang mencapai 270 juta populasi Indonesia. Tentu angka ini akan berlipat-lipat angkanya. Masyarakat dirugikan sedemikian besar untuk membayar biaya pengobatan. 

Ini tentu bisa dikurangi dengan penghapusan bensin RON 88, digantikan dengan RON minimal 91. Atau bahkan sekalian beralih pada kendaraan listrik. Akan lebih baik jika biaya kesehatan ini tidak perlu dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengobati masyarakat, melainkan diberikan saja untuk subsidi kepada masyarakat miskin.

Harga BBM bisa murah sebagai akibat penghapusan varian oktan rendah?

Tim RTKM 2014 menyebut bahwa hanya ada 1 % perbedaan  dari biaya untuk tiap tambahan 2,5 oktan.  Jika pertalite dengan pertamax selisihnya cuma 2 oktan.  Ini artinya tidak jauh disparitas harganya. Hanya berbeda 0,8%. Sedangkan antara premium dengan pertamax, selisih 4 oktan, hanya 1,6%. Rasanya tidak terlalu memberatkan.

Apalagi menurut Dirut Pertamina, penghapusan sejumlah produk BBM akan mengurangi biaya penyaluran atau distribusi BBM ke berbagai daerah. Hal ini bisa membuat harga BBM menjadi lebih murah. Angka 1,6% tadi bisa saja jadi 0%. Sehingga masyarakat bisa menikmati pertamax seharga BBM beroktan rendah. Menarik untuk ditunggu, apa memang bisa diberikan harga murah? 

Mari kita coba lebih jernih memikirkan manfaat positif wacana ini. Salam

Tautan referensi: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun