Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Urgensi Transaksi Non-Tunai Pasar Tradisional sebagai Protokol "New Normal"

16 Juni 2020   17:25 Diperbarui: 16 Juni 2020   20:11 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar tradisional merupakan bagian dari budaya Indonesia

Pasar tradisional atau pasar rakyat merupakan lembaga ekonomi strategis yang menopang kekuatan ekonomi lokal. Pasar tradisional turut berkontribusi menggerakkan perekonomian daerah melalui lapangan kerja informal.

Pasar menjadi tempat penjualan produk usaha mikro kecil dan menengah. Pasar juga menjadi sarana keberlanjutan budaya setempat. Pasar juga menjadi pusat perekonomian informal setempat yang menjadi penopang perekonomian Indonesia hingga kini. 

Berbelanja ke pasar memang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Membujuk calon pembeli, lalu tawar menawar harga menjadi seni tersendiri saat berada di pasar. Meskipun belakangan ada aplikasi belanja ke pasar secara online, ternyata tidak memuaskan pembeli.

Foto barang yang dipajang oleh toko online, kadang-kadang tidak sesuai harapan pembeli. Ada yang kecewa karena barang yang diterima tidak sebagus tampak foto nya atau ukurannya tidak sesuai. 

Hal itu kelihatannya membuat masyarakat masih enggan berbelanja secara online untuk kebutuhan pokok. Apalagi yang biasanya dibeli di pasar. Tentunya karena ingin memilih sendiri bahan pokok yang ingin dibeli.

Sayuran, ikan, daging, bumbu dapur, tentu bisa diperoleh yang paling segar jika melihat dan memilih langsung di kios penjual. Ini menjadi hal mendasar yang perlu dipahami.

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2018 terdapat 14.182 unit pasar tradisional di Indonesia. Jauh lebih banyak dari toko modern yang berjumlah 1.131 unit maupun pusat perbelanjaan yang jumlahnya 708 unit.

Sebaran pasar tradisional terbanyak berada di Jawa yaitu 1.823 unit di Jawa Timur, 1.482 unit di Jawa Tengah, dan diluar Jawa ada di Sulawesi Selatan sebanyak 940 unit.

Kaum pembeli yang mampir  berbelanja di pasar tradisional umumnya kelas menengah ke bawah. Namun demikian, pasar tradisional ini menjadi riskan sebagai media transmisi virus Covid-19. Mengapa demikian? 

Geliat pasar tradisional pasca pandemi Covid-19
Pasar tradisional mulai dibuka pada pelonggaran PSBB. Sebagian malah tetap beroperasi pada masa PSBB. Mengingat sifatnya yang esensial dalam rantai pasok bahan makanan, maka pasar tetap diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan jual beli kebutuhan masyarakat. 

Pemerintah tentu ingin aktivitas ekonomi kembali normal.  Misalnya pada 17 Mei 2020, Pemerintah Kota Surabaya membuka kembali semua pasar di Surabaya. Meski sebelumnya Pasar Simo dan Pasar Simo Gunung sempat ditutup pada 7 Mei 2020 akibat dua pedagang di pasar tersebut diduga positif virus Corona atau COVID-19.  

Di Jakarta, Perumda Pasar Jaya diberitakan menutup kembali pasar yang sempat dioperasikan. Ada 19 pasar dibawah pengelolalan Perumda Psar Jaya yang ditutup sementara. Hal ini didasari adanya kasus 52 pedagang positif Covid-19 di 6 pasar di DKI Jakarta.

Perumda Pasar Jaya melakukan pengetesan pada  1.418 pedagang di 19 pasar tersebut. Hasilnya terdapat 52 pedagang yang positif Covid-19 di 6 pasar. 

Kawasan Pasar Tanah Abang, pasar terbesar di Asia Tenggara, akhirnya diputuskan kembali beroperasi per 15 Juni 2020, setelah sebelumnya ditunda pembukaannya, pasca ditutup selama masa PSBB di Jakarta. 

Kebijakan ganjil genap yang akan diterapkan di Jakarta mulai ditentang para pedagang. Terutama pedagang bahan 'basah', misalnya sayur mayur, daging, ikan, dan bahan makanan yang tidak tahan disimpan lama.

Wajar saja, pedagang kuatir barang dagangan nya rusak dan kuatir pendapatannya merosot. Bagaimana membayar sewa kios? Bagaimana barang yang rusak, apa Pemerintah mau mengganti? tukas seorang pedagang yang diliput oleh Kompas TV. 

Meskipun misalnya dilakukan aturan ganjil genap kios yang boleh buka. Protokol kesehatan berupa physical distancing, wajib menggunakan masker, rajin mencuci tangan, tetap saja belum mampu memutus rantai penyebaran Covid-19. Mengapa demikian?

Uang tunai berpotensi menjadi media transmisi virus

Mari kita lihat fakta di lapangan. Meskipun pedagang maupun pembeli menggunakan masker untuk melindungi pernafasannya, jika transaksi jual beli tetap menggunakan uang tunai berbentuk kertas atau logam seperti biasanya, maka percuma.

Masih ada peluang virus menyebar melalui uang yang berpindah-pindah tangan tersebut. Tidak hanya virus bahkan kuman penyakit pun mudah menempel pada uang.

Transaksi dengan uang tunai (Kompas.com)
Transaksi dengan uang tunai (Kompas.com)

Selembar saja uang itu terkontaminasi, maka bisa menjalar kemana-mana. Efeknya berantai. Sangat sulit dilakukan 'tracing' atau mencari alur kontak uang tersebut. Karena uang tidak ada identitasnya. Tidak bisa juga dilacak, dari siapa uang itu pertama kali diperoleh.

Bisa saja diperoleh dari kembalian ketika naik angkutan kota menuju pasar. Atau kembalian dari tukang ojek. Atau kembalian saat mengisi bensin di SPBU. Atau dari uang sendiri yang memang sudah terkontaminasi. Terlalu banyak 'atau' ini. Karena memang kemungkinan sumbernya banyak. Sulit dilacak.

Hal ini membuat tidak heran saat PSSB transisi di Jakarta misalnya. Malah zona merah semakin banyak muncul. Baik Pemerintah maupun masyarakat semakin kalang kabut. Semua mengalami ketidakpastian.

Katanya dulu kan cuma 14 hari masa inkubasinya, setelahnya ya sudah, aman. Kok bisa ya?   batin semua orang. Inilah ketidakpastian yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. 

Si virusCovid-19 ini tidak lantas menghilang, dia masih ada diluar sana, bahkan mungkin di tubuh kita, tanpa kita sadari. Vaksin pun belum ditemukan hingga kini. Mengurangi penyebaran yang paling mungkin dilakukan saat ini. 

Tersedia transaksi digital yang sudah umum bagi masyarakat

Pasar tradisional ini biasanya dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN dan BUMD. Meskipun ada juga yang tidak ada pengelolanya, biasanya pasar yang di daerah pelosok atau perbatasan. Sifatnya pun mingguan, tidak rutin setiap hari. 

Untuk mengurangi transmisi virus Covid-19 ini perlu lah cerdas berprilaku demi kemaslahatan bersama. Selain wajib menaati protokol kesehatan, rasanya pengelola mesti juga menerapkan protokol transaksi jual beli di pasar tradisional.

Misalnya terbitkan regulasi, bahwa dalam rangka new normal, pasar tradisional boleh buka dengan catatan wajib bertransaksi dengan dompet digital. Tidak ada transaksi dengan uang fisik.

Misalnya tiru saja transaksi digital dengan scan barcode sudah diterapkan oleh Fresh Market Bintaro di Tangerang. Ini bisa menjadi salah satu contoh penerapan transaksi cashless yang bisa diadopsi oleh pasar lainnya. Tentunya perlu modifikasi sesuai karakter pasarnya.

Fresh Market Bintaro dengan transaksi digital (Kontan.co.id)
Fresh Market Bintaro dengan transaksi digital (Kontan.co.id)

Tidak usah membuat baru lagi uang digitalnya. Makan waktu dan buang-buang dana. Gunakan saja yang sudah ada. Misalnya uang digital dari GoPay, OVO, LinkAja, maupun vendor lainnya. Mengapa saya mendorong tiga nama beken ini.

Masyarakat sudah sangat akrab dengan layanan Gojek atau Gofood. Masyarakat juga sudah akrab dengan Grab. Sudah terbiasa menggunakan top up saldo GoPay atau Ovo misalnya. Masyarakat pengguna nomor Telkomsel juga dominan di Indonesia, LinkAja bisa melekat pada aplikasi MyTelkomsel.

Tentu ini mempermudah masyarakat untuk menerima. Tidak sulit untuk sosialisasi. Utamanya masyarakat kelas menengah kebawah, . Mereka lebih suka belanja langsung di pasar tradisional atau di toko kelontong atau supermarket seperti Alfamart atau Indomaret, ketimbang berbelanja dengan aplikasi e-commerce.

Malahan mungkin saja brand-brand penyedia dompet digital itu berkenan beriklan untuk mensosialiasikan 'protokol transaksi digital' ini. Semua pihak diuntungkan. Pemerintah terbantu mensosialisasikan. Masyarakat mudah terinformasi. Penyedia pun turut mendapat manfaat.

Apa yang perlu dilakukan?

Pemerintah atau Pemerintah Daerah perlu mengecek kembali fasilitas pasar yang selama ini kabarnya sudah banyak direvitalisasi. Transaksi digital mesti pula didukung dengan konektifitas data yang baik.

Nah, instansi yang membidangi komunikasi dan informatika, rasanya tidak ada salahnya mengalihkan sebagian dana APBN/D yang dikelolanya untuk menyiapkan misalnya fasilitas Wi-Fi gratis.

Atau membangun tower BTS jika memang kualitas sinyal perlu diperbaiki disana. Atau misalnya penyedia layanan telekomunikasi diarahkan untuk berinvestasi mendukung transaksi digital kerakyatan ini.

Pemegang brand dompet digital berperan mensosialisasikan transaksi digital ini. Bagaimana cara masyarakat menggunakannya. Selain itu harus pula menjamin keamanan data maupun keandalan layanannya sepanjang waktu. Agar masyarakat lebih percaya dan merasa aman menggunakannya. Kan tidak lucu ketika sedang membayar, saldo berkurang tapi transaksi gagal misalnya. Atau bahkan aplikasinya 'hang'. 

Siapa yang diuntungkan?

Semua pihak sebetulnya diuntungkan apabila transaksi digital 'cashless' ini bisa dipercepat penerapannya. Setidaknya beberapa manfaat yang didapatkan:

  • Pedagang tidak perlu repot mencatat tiap rupiah dari penjualannya. Tentunya jumlah terjual mungkin masih perlu dicatat manual. Meskipun bisa saja ditambahkan pada catatan transaksi digital tersebut. Pedagang dengan mudah mengetahui berapa total pendapatannya. Dengan uang digital, pedagang maupun pembeli tidak perlu kuatir dirampok atau dicopet. 
  • Pembeli tidak perlu repot menunggu kembalian dari pedagang. Terkadang, karena tidak punya uang pecahan cukup, si pedagang mesti menukarkan uang nya pada pedagang tetangganya. Bisa jadi pembeli yang buru-buru akhirnya merelakan saja kembaliannya, karena tidak mau menukarkan sendiri. Boros waktu. Belum lagi kembalian menggunakan permen yang sering membuat dongkol.  Dengan transaksi non tunai, ini tidak perlu terjadi.
  • Pemerintah atau Pemerintah Daerah tentunya juga mendapat manfaat. Pemerintah bisa mencatat berapa transaksi riil pada suatu pasar. Pemerintah juga bisa menggunakan data ini untuk kebijakan pajak di masa mendatang. Tentunya tidak bijak jika masa kontraksi ekonomi seperti saat ini mewacanakan pajak pada pedagang pasar.
  • Risiko peredaran uang palsu bisa diminimalisir, mengurangi pekerjaan Bank Indonesia. Transaksi non tunai tentu mempersempit peredaran uang palsu yang merugikan masyarakat.
  • Stimulus ekonomi juga bisa diberikan untuk trigger awal penggunaan dompet digital ini. Misalnya Pemerintah memberikan voucher uang digital yang hanya bisa digunakan berbelanja di pasar. Dengan cara men-top up saldo pembeli.
    Atau bisa juga Pemerintah memberikan bantuan-bantuan sosial lewat dompet digital. Mempermudah penyaluran maupun auditnya. 

Presiden Joko Widodo pun menjanjikan revitalisasi pasar tradisional dalam janji politiknya. Tentunya harus direalisasikan oleh jajaran Pemerintah yang berkompeten terkait pasar tradisional ini.

Alangkah bagusnya jika revitalisasi ini dibarengi dengan percepatan transaksi non tunai pada aktivitas jual beli di pasar tradisional. Terutama sebagai upaya pemulihan ekonomi kerakyatan di tengah ketidakpastian pasca pandemi Covid-19. 

Dengan cerdas berperilaku, yang salah satunya melalui transaksi non tunai dipasar tradisional, maka sehatlah pedagangnya, sehat juga pembelinya. Sehat pula ekonomi Indonesia. Jayalah pasar tradisional. 

David F Silalahi

Tautan Refensi: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun