Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Melarung Visi Maritim dalam Konteks Energi Maritim!

30 Mei 2020   11:48 Diperbarui: 30 Mei 2020   13:04 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Sean Patrick from Pexels 

Rasanya kita tidak asing dengan lirik lagu berikut:

Nenek moyangku seorang pelaut...
Gemar mengarung luas samudra...

Menerjang ombak tiada takut...
Menempuh badai sudah biasa...

Pemuda b'rani bangkit sekarang...
Ke laut kita beramai-ramai...

Betul, itu sebagian syair lagu 'Nenek Moyangku Seorang Pelaut' yang (dulu) biasa dinyanyikan anak kecil. Sebuah lagu menggambarkan pendahulu kita yang energik menaklukkan kerasnya lautan.

Tidak berlebihan jika Indonesia mengklaim nenek moyang nya para pelaut tangguh. Fakta bahwa luas lautan Indonesia mencapai 6,4 juta kilometer persegi, sekitar 77% dari total luas NKRI. Banyak juga masyarakat kita yang hidupnya bergantung pada lautan.

Harapan besar muncul saat mendengar pidato kemenangan Presiden Terpilih 2014, Bapak Jokowi, pada anjunga kapal phinisi Pelabuhan Sunda Kelapa. Pidato yang menjanjikan visi maritim Indonesia agar kita mulai memandang laut kita alih-alih memunggunginya.

Sejak itu lahir pula Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk mengawal visi maritim ini. Semoga semakin jelas perwujudan visi maritim ini untuk kesejahteraan bangsa kita.  

Meskipun makna maritim bisa lebih luas, saya secara sederhana memahami maritim ini ya lautan. Lebih mengerucut lagi, saya memandangnya dalam konteks energi yang bisa diperoleh dari lautan.

Memandang laut dalam konteks energi
Laut saat ini memegang peran penting dalam perekonomian negara Indonesia. Laut menjadi sebagian dari sumber pangan. Ikan, lobster, rumput laut, garam, dan produk lainnya berasal dari laut. Selain itu, laut juga menjadi wahana wisata (terumbu karang, diving, snorkeling, surfing, dll) serta menjadi jalur transportasi kapal-kapal laut. Demikian vitalnya keberadaan laut ini bagi masyarakat Indonesia.

Dalam konteks energi, selama ini barulah sektor tambang mineral, minyak ,dan gas yang banyak dilakukan di laut. Kegiatan tambang timah dengan kapal keruk di perairan pulau Bangka Belitung misalnya. Tambang minyak dan gas yang tersebar di laut lepas Indonesia, di laut Kepulauan Natuna misalnya.

Sedangkan untuk pembangkitan listrik, belum banyak dilirik. Mungkin karena pada masa lalu,dianggap belum ekonomis, karena masih cenderung mahal investasinya. Dengan pesatnya perkembangan teknologi terkini, semua berubah dengan cepat. 

Biaya investasi menjadi semakin murah, sesuatu yang tadi dinilai tidak ekonomis, rasanya perlu direview kembali. Bisa jadi saat ini sudah ekonomis. Sebagai contoh sederhana, dulu harga listrik dari energi surya di Indonesia masih di kisaran 25 cent USD/kWh, harga terkini sudah turun mendekati 5 cent USD/kWh, misalnya harga kontrak PLTS terapung 145 Megawatt (MW) di waduk Cirata. 

Seringpula, ketersediaan lahan di daratan menjadi persoalan terkendalanya proyek pembangkit listrik. Pembebasan lahan untuk membangun pembangkit listrik terkendala ketika pemilik tidak mau ditukar lahannya dengan kompensasi ganti rugi. Belum lagi persoalan dengan tanah adat. Bikin pusing pengembang. Maka perlu ada terobosan untuk menyelesaikan ini. 

Usulan pemanfaatan potensi energi di laut
Saatnya kita memandang lautan luas yang kita punyai. Lautan itu milik bersama. Rasanya belum ada perorangan yang memiliki laut? Lagian yang ada kan bagi-bagi sertifikat tanah, bukan bagi-bagi sertifikat laut. Ya kan. Hehe   

Ini artinya, memanfaatkan laut menjadi lebih mudah ketimbang membebaskan lahan daratan.Selain dari energi minyak dan gas bumi, yang ada diambil dari perut bumi di dasar lautan. Kita bisa mulai memikirkan apalagi yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. 

Karena saya tertarik pada energi terbarukan, saya akan mengusulkan pembangkit berikut dibangun di laut kita:

  1. Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Selain di daratan, sebagaimana PLTB Jeneponto atau PLTB Sidrap di Sulawesi, PLTB pun bisa dibangun terapung diatas laut. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh negara lain. Denmark sangat terkenal dengan energi anginnya. Tahun 2019, PLTB Horns sebesar 400 MW di laut 'East North Sea' beroperasi komersial. PLTB ini terdiri dari 49 turbin angin berkapasitas 8,3 MW per unit. Tahun lalu, kebutuhan listrik di Denmark sebesar 47% dipasok dari energi angin.

    Namun untuk Indonesia, ini perlu pemetaan mengenai kecepatan angin di laut. Untuk yang kecepatan angin di darat (on-shore), potensi sudah terpetakan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 61 Gigawatt;

  2. Pembangkit listrik tenaga arus laut. Berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan peneliti kita. Laut kita punya potensi untuk ini. Memanfaatkan tenaga dari arus laut yang kuat di beberapa perairan Indonesia, maka bisa diubah menjadi listrik. Toh, potensi yang tercatat dalam RUEN mencapai 18 Gigawatt (GW). Setara separuh dari proyek 35 GW yang on progress saat ini.

  3. PLTS terapung (floating PV) di laut. Permukaan laut Indonesia yang relatif tenang, memberi peluang pemanfaatan bagi PLTS terapung. Mirip dengan konsep PLTS terapung di waduk. Hanya berbeda tempat saja. Menurut data dari Badan Informasi Geospasial, perairan laut kepulauan dalam (internal sea) Indonesia mencapai luasan 3,1 juta kilometer persegi. Tiap hektar permukaan laut, bisa dipasangi 1,5 MW PLTS terapung, ini setara dengan energi listrik 3 GWh per tahun.

    Jika listrik tahun lalu misalnya, listrik yang dijual PLN, sebanyak 245 Terrawatthour (TWh), anggaplah semua diproduksi oleh PLTS terapung di laut. Maka ini kira-kira membutuhkan PLTS terapung setara 140 GWp, yang membutuhkan luas lautan sekitar 1.000 kilometer persegi. Hanya butuh 0,03% dari luas 'internal sea' Indonesia. Negara tetangga kita, Singapura melalui Sunseap Group, berencana membangun PLTS terapung sebesar 5 MW pada Selat Johor.

Peta prediksi gelombang laut Indonesia, BMKG
Peta prediksi gelombang laut Indonesia, BMKG

Dengan kacamata saya sebagai awam, jika menatap laut kita dalam prediksi gelombang laut diatas. Saya menganalisis, untuk laut kita yang sedemikian luas, sangat memungkinkan ketiga jenis pembangkit tadi.

Untuk laut yang berwarna biru tua, biru muda, dan hijau, lebih cocok untuk PLTS terapung. Instalasinya lebih aman, karena angin dan gelombang lautnya tidak besar (kurang dari 2 meter). Untuk laut yang berwarna kuning, merah, coklat, ungu, yaitu laut yang gelombangnya tinggi, energinya tinggi. Maka akan cocok untuk pembangkti tenaga arus laut dan pembangkit listrik tenaga bayu (offshore). Misalnya di selatan Pulau Jawa, di timur Sumatera, Laut Bengkulu, Laut di sekitar Barat Aceh, Laut di Selatan Nusa Tenggara. Tentunya perlu kajian lebih lanjut dari para pakar kelautan.

Dengan memanfaatkan permukaan lautan yang kita punya, kompetisi pengadaan lahan daratan dengan pertanian, perkebunan, perumahan, dan seterusnya untuk keperluan pembangunan pembangkit, bisa diminimalkan. Pemerintah tinggal mematok saja, laut bagian mana yang boleh digunakan. Ini mengurangi biaya pengadaan tapak tanah. Pengurangan biaya ini bisa digunakan untuk menutup biaya tambahan untuk instalasi yang harus antikorosif, mengingat keberadaannya di lingkungan laut berkadar garam tinggi. 

Berharap dengan lebih banyak 'menatap laut', Indonesia bisa merealisasikan target 31% energi terbarukan dalam bauran energi tahun 2050 nanti. Bila perlu wujudkan 100% energi terbarukan. Mudah-mudahan visi maritim turut diterjemahkan dalam program-program nasional ke depannya. 

Bukan tidak mungkin negara ASEAN menjadi pasar untuk Indonesia menjual listriknya, tentunya setelah kecukupan dalam negeri terpenuhi. Hehe

Negara maritim, ya energi maritim!
Salam. Selamat berakhir pekan. 

Tautan referensi : 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun