Dalam kurun waktu dua tahun, ada dua film yang saling bertolak belakang dirilis ke publik. Rilisnya sama-sama bulan April, dekat dengan peringatan Hari Bumi 'Earth Day'. Sama-sama berhasil pula menghebohkan penontonnya.
Film Sexy Killer dilaunching pada 14 April 2019, lalu setahun kemudian film Planet of The Humans ditayangkan pertama kali pada 24 April 2020. Kedua film ini sama-sama menyoroti bagaimana kebutuhan populasi manusia akan energi telah memberikan dampak kerusakan hebat pada lingkungan.Â
Baik itu yang bersumber dari energi fosil atau energi terbarukan. Kelihatannya saling serang antara kubu pro energi terbarukan dan kubu inkumben pro energi fosil tampak jelas dalam kedua film ini.Â
Berikut kira-kira review singkat dari film ini, tentunya versi saya:
1. Sexy Killers
Sebuah film dokumenter apik  yang dibesut oleh rumah produksi Watchdog, disutradarai Dhandy Laksono. Film berdurasi 1 jam 28 menit ini menyoal bagaimana rusaknya lingkungan akibat aktivitas penambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara.Â
Diawali dengan scene pasangan yang berbulan madu di kamar hotel. Lalu berpindah perlahan pada bagaimana sebetulnya listrik yang ada di kamar hotel itu didapatkan. Sampailah pada hulu dimana batubara dikeruk dari perut bumi Kalimantan.Â
Selanjutnya dinarasikan, bagaimana kehadiran tambang batubara menyengsarakan masyarakst petani didekat lahan tambang. Awalnya masyarakat bertahan di lahannya, tidak mau dibebaskan, namun lambat laun mengalah karena hidupnya semakin sulit.Â
Hasil taninya memburuk karena irigasi memburuk, limpahan lumpur dari kegiatan tambang, rumahnya retak bahkan amblas karena terkena getaran ledakan-ledakan di lokasi pengerukan batubara yang tidak jauh.Â
Mereka akhirnya menyerah dengan keadaan dan bersedia angkat kaki. Dipotret juga bagaimana debu-debu batubara menyebabkan gangguan pernafasan pada masyarakat sekitar.Â
Lahan yang semula merupakan hutan, atau lahan pertanian lumbung padi, berubah menjadi kubangan-kubangan air raksasa. Permukaan bumi berubah total dikawasan tambang batubara ini. Â
Lalu ada beberapa PLTU Batubara juga disorot. PLTU 2.000 Megawatt (MW) Batang di Jawa Tengah, PLTU Celukan Bawang 400 MW di pantai Utara Bali, PLTU Panau 66 MW di Palu  menjadi sorotan dalam film ini.Â
Digambarkan pula bahwa kehadiran PLTU ini menghadirkan penderitaan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Adanya penolakan warga. Sakit pernafasan yang dialami warga sekitar lokasi.Â
Debu' fly ash' yang menghitamkan sampai ke meja dalam rumah warga. Juga bagaimana tangkapan ikan nelayan yang berkurang signifikan. Petani sekitar pembangkit mengalami kesulitan-kesulitan.Â
Terumbu karang mengalami kerusakan. Disorot pula tokoh-tokoh nasional yang berada dibalik layar. Â Intinya sedemikian pengaruhnya pada lingkungan sekitar termasuk masyarakat.Â
Film Sexy Killers ini menarasikan buruknya energi fosil yang diwakili oleh Batubara. Film ini menekankan bahwa selama ini pertambangan batubara hanya dinikmati oleh para elite  dan namun banyak merugikan masyarakat kecil.Â
Lalu seakan mengarahkan bahwa saatnya lah untuk berpikir untuk berpindah pada energi terbarukan 'renewable energy', jangan teruskan kerusakan lingkungan ini.Â
Rasanya setuju dengan semua argumen ini. Mari kita dukung energi terbarukan. Demikian singkat cerita, namun selengkapnya tentunya silahkan ditonton sendiri. HeheÂ
2. Planet of The Humans
Film ini dirilis bersamaan dengan perayaan Hari Bumi 'Earth Day' 24 April 2020 lalu. Film dokumenter berdurasi 1 jam 40 menit arahan Jeff Gibbs ini, menjadi kritik yang pedas pada Pemerintah Amerika Serikat untuk program 'green energy' disana. Juga kritik pada dunia. Mungkin untuk menjawab Sexy Killers juga. Hehe
Barrack Obama dan Al-Gore menjadi sasaran kritik juga. Kritik pada gencarnya pembangunan pembangkit listrik tenaga angin (wind power)Â dan pembangkit listrik tenaga surya (solar PV)Â disana.Â
Film ini mempertanyakan mengapa 'renewable energy' terus dicitrakan ramah lingkungan, padahal sebetulnya juga tidak demikian! Teknologi renewables dikuliti kelemahannya.
Bagaimana bahwa sebetulnya mulai pembuatan bahan bakunya dan juga proses konstruksinya hingga menjadi pembangkit listrik, tetaplah mengandalkan energi fosil. Tetap ada emisi karbon dioksida disana. Lalu ramah lingkungan atau hijau nya dimana?Â
Kritik pada PLTS:
PLTS Ivanpah 377 MW dengan teknologi 'concentrated solar power' juga jadi sasaran. PLTS yang dibangga-banggakan oleh Arnold Schwazeneger kala menjabat Gubernur disana.Â
PLTS yang berada di Mojave Desert ini, tersusun dari ribuan cermin cekung untuk memfokuskan sinar matahari pada tower berisi air.Â
Kehadiran PLTS ini harus diawali dengan land clearing pada lahan gurun, menyebabkan kerusakan ekosistem di lokasi pembangunannya. Selain itu, fasilitas panel surya juga ternyata menggunakan gas untuk memanasinya setiap pagi.Â
Tak luput, proses penambangan bongkahan kuarsa atau pasir yang menjadi bahan baku pembuatan silikon juga mendapat kritik. Juga merusak alam. Sorotan juga ditujukan pada proses produksi 'solar sell' juga menggunakan energi batubara.Â
Bongkahan kuarsa dibakar bersama-sama dengan batubara dalam tungku smelter pada proses pemurniannya. Belum lagi polusi logam berat berbahaya pada proses pembuatan tersebut.Â
Kritik pada PLTB:
Belum puas dengan menyoal PLTS. Film ini juga mengkritik pembangkit listrik tenaga angin/bayu (PLTB). Pembersihan lahan perbukitan 'Mount Vermont' juga dikritik merusak lingkungan. Juga dikiritik, bahwa material karbon untuk baling-baling (turbin), sifatnya material langka di bumi.Â
Proses mengambil dan mengolahnya juga boros energi. Lalu, kemana nanti limbahnya setelah turbin habis umurnya dan tidak lagi berfungsi. Kemana material-material lainnya pergi. Tentu energi yang tidak sedikit juga dibutuhkan untuk mengolah limbah pembangkit listrik 'renewable energy' ini.
Kritik pada pembuatan biofuel:
Pabrik ethanol yang sering disebut biofuel. Bahan bakar ramah lingkungan, juga tidak seindah sebutannya. Pabrik ethanol juga menggunakan energi batubara dalam proses pembuatan ethanol. Artinya ada emisi karbon pada prosesnya!
Kritik pada biomass:
Pembangkit listrik biomasa yang sedang 'booming' juga dihujani kritik. Switching dari membakar batubara dengan membakar kayu (wood) yang dicampur dengan potongan ban kendaraan dalam proses menghasilkan listrik.Â
Artinya tetap saja mengemisi karbon seperti PLTU. Limbah pertanian atau industri kayu tidak lagi cukup, maka pohon dan hutan juga menjadi sasaran untuk mengambil kayu pohon. Lalu dimana letak 'green' nya? Â Ini juga tidak ramah lingkungan.Â
Kritik pada kendaraan listrik dan hidrogen:
General Electric yang mulai memasarkan mobil listriknya, ternyata juga tidak yakin jika 'charging' listriknya bisa dipasok oleh renewables. Mereka sendiri pesimis. Hal yang wajar, karena mereka produsen kendaraan otomotif, bukan mengurusi sumber listriknya.
Mobil listrik Tesla menggunakan alumunium juga disorot. Dalam proses pengolahannya, logam aluminium butuh energi 8 kali lebih besar daripada yang dibutuhkan baja. Energi ini berasal dari batubara. Demikian juga baterai Lithium yang digunakan, sangat bergantung pada penambangan bahan beracun yang berbahaya.
Kritik pada klaim perusahaan:
Kritik pada perusahaan Tesla dan Apple juga ditembakkan. Kedua perusahaan besar ini mendeklarasikan diri 100% menggunakan energi terbarukan. Apple, misalnya harus menebang hutan untuk memasang PLTS nya di North Carolina.Â
Baik PLTS milik Apple ini, maupun Tesla Gigafactory di Nevada, nyatanya tetap tersambung dengan jaringan listrik konvensional (utility grid). Lalu dimana letak kehijauan-nya?
Kritik pada perayaan Earth Day:
Film ini ditutup dengan 'satire'. Konser perayaan Hari Bumi 'Earth Day' yang mengklaim bahwa acaranya dilistriki 100% dari solar PV, ternyata tetap menggunakan genset dan terhubung ke jaringan listrik setempat. Solar PV yang ada dibalik panggung hanya mampu menyalakan sebuah 'toaster'.Â
Sedangkan konser sendiri dilistriki oleh genset tadi. Sponsor acara juga disorot. Toyota yang merupakan produsen kendaraan otomotif terbesar. Citibank yang turut mendanai proyek-proyek pembangkit listrik.Â
Caterpillar yang membulodozer lingkungan dalam kegiatan proyek-proyeknya. Seakan mengatakan kok acara Hari Bumi disponsori oleh perusahaan yang bahkan tidak ramah pada bumi ini.Â
Mungkin terinspirasi dari Sexy Killer, ada tersisip dokumentasi kondisi hutan Kalimantan. Terlihat sekeluarga Orangutan bergelayut di pohon yang rapuh, nampak kebingungan karena rumah-nya rusak.Â
Didramatisir dengan kebakaran hutan, ditambah dengungan mesin 'chainsaw' saat pohon besar ditebang. Pohon roboh, dan menghilangkan tempat tinggal Oranghutan.Â
Lalu tampaklah Orangutan lunglai tak berdaya menjadi korban manusia. Ini menjadi kritik juga bagi Indonesia terhadap pengelolaan hutan. Lagi-lagi saya menyarankan, silahkan tonton sendiri jika ini dirasa belum lengkap.
Dilema yang menjadi realitas!
Menonton dua film tersebut, membuat perasaan yang campur aduk. Bingung mau memihak yang mana. Energi fosil dicitrakan buruk, energi terbarukan juga diungkap sisi gelapnya pada kerusakan lingkungan.Â
Saya menjadi teringat materi kuliah, ketika dulu pernah duduk sebentar kampus Ganesha, Magister Rekayasa Pertambangan di ITB. Dijelaskan oleh dosen pengajar, bahwa realitanya tidak akan pernah ada peradaban modern tanpa adanya mineral dan energi yang dikeruk dari bumi.Â
Bayangkan jam tangan yang kamu gunakan. Bayangkan emas atau perak pada cincin, gelang, anting, perhiasan yang menempel ditubuh mu saat ini. Belum lagi smartphone yang kamu gunakan. Komputer yang kamu gunakan. Listrik yang kamu gunakan. Darimanakah semua itu berasal?
 Semua itu diambil dari tanah, dari bumi kita. Tidak ada peradaban tanpa adanya tambang-tambang mineral. Listrik dihasilkan dari batubara yang dikeruk dari bumi. Saya yang latar belakangnya bukan tambang 'terhenyak' waktu itu. Benar juga ya. So damn true!
Saya menyadari bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari untuk kemajuan peradaban dunia. Yang bisa dilakukan adalah berdamai dengannya, meminimalkan dampak lingkungan yang muncul. Ilmu lingkungan hadir untuk itu, untuk mengoreksi agar kerusakan lingkungan masih dalam batas daya dukung lingkungan itu sendiri.Â
Mana ada teknologi pembangkitan listrik yang benar-benar zero carbon!
Itu fakta nyata bahwa 'renewables' tidak sepenuhnya hijau, tidak sepenuhnya bebas emisi karbon. Mana ada pembangkit listrik yang benar-benar 'zero carbon'. Kita harus akui itu, baik kita yang pro energi inkumben 'fossil energy' maupun pihak yang mendukung 'renewable energy'.Â
Secara tinjauan life cycle analysis, selalu ada jejak karbon yang timbul. Untuk lebih adil, mestinya film Planet of The Human juga memotret bagaimana jejak karbon atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembangkit fosil. Tetapi bisa jadi 3 jam filmnya.Hehe. Karena tidak diulas, saya ulas sedikit, agar tidak berat sebelah. Â
Sebetulnya pembangkit fosil pun dalam perjalanan hidupnya, mulai dari bahan mentah hingga jadi pembangkit utuh yang beroperasi, ya sama saja. Ada proses mengeruk logam dan mineral untuk bahan pembuatan turbin, boiler, baja untuk strukturnya, dan kelengkapan lainnya.Â
Lalu peralatan ini dibawa ke site dimana dia akan dibangun. Truk yang membawa, kapal yang membawa dari luar negeri sana, juga menghasilkan emisi karbon dari mesin penggeraknya. Bahkan pekerja yang membangun, datang dengan mobil atau sepeda motor. Ada juga emisi karbon disana.Â
Belum berhenti disana. Saat dioperasikan, batubara dibakar oleh PLTU, gas dibakar oleh PLTG, solar disel dibakar oleh PLTD. Polusi karbon juga muncul.Â
Bahkan sampai dengan menjadi rongsok, sisa dari pembangkit ini dilebur kembali misalnya, untuk diambil logamnya. Juga dibutuhkan energi yang tidak sedikit.Â
Renewables memang tidak zero carbon!
Sekarang kita beralih ke pembangkit energi terbarukan. Kita ambil contoh PLTS atau PLTB atau PLTA. Kurang lebih sama dengan pembangkit fosil. Ada emisi karbon dalam perjalanan pembuatannya hingga dibangun di lapangan dan akhirnya beroperasi.Â
Yes, kita akui itu! Namun ketika sudah beroperasi, dia berbeda dengan PLTU atau PLTG atau PLTD. Tidak ada bahan bakar yang digunakan. Tentu tidak ada emisi karbon nya! Sepakat ya.
Bahwa nanti limbah dari PLTS, PLTB, atau PLTA itu akan sama saja dengan PLTU, memerlukan energi untuk proses daur ulangnya.Â
Jadi bisa kita pahami, ada perbedaan signifikan. Dalam operasinya pembangkit energi terbarukan berbeda dengan pembangkit fosil, tidak ada polusi udara disana. Tentunya jika emisi karbon dari kendaraan operator/ pekerja nya tidak dihitung ya.Â
Grafik diatas menggambarkan hasil studi dari world-nuclear.org yang membandingkan bagaimana jejak karbon pembangkit fosil dan renewables dengan metode 'life cycle analysis'. Tidak terbantahkan, pembangkit renewables tetap lebih bersih daripada pembangkit fossil.
Analisis ini membuat saya tetap mantab pada pendirian, tetap saya pro renewables. 'We need to go green!'.Â
Energi terbarukan tidak bisa dihindari akan menjadi masa depan dunia, termasuk Indonesia. Â Sifat bahwa energi fosil suatu saat akan habis cadangannya tidak bisa terbantahkan.Â
Tentunya kita sepakat, tetap harus ada yang menggantikannya. Â Tidak ada pembangkit listrik yang 'suci'. Kalau ada, tolong tunjukkan ke saya. Hehe
Jika batubara habis, minyak habis, gas habis? Â Apakah kita mau hidup kembali ke zaman prasejarah. Hidup tanpa listrik?
Tautan referensi: 1, 2, 3, 4, 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H