Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan sinar matahari yang melimpah ruah sepanjang tahun.
Dalam penelitian yang sedang saya lakukan tentang skenario Indonesia menghasilkan 100% listrik dari energi terbarukan, saya menemukan bahwa negara ini memiliki potensi untuk menghasilkan listrik sebesar 640.000 Terrawatt per jam (TWh) per tahun dari energi matahari atau setara dengan 2.300 kalinya produksi listrik pada tahun 2019.
Meskipun potensinya besar, investasi pada sektor energi terbarukan masih rendah. Hal ini mengapa kontribusi energi surya tahun lalu baru mencapai 1,7% saja dari total produksi listrik.
Tahun lalu, Indonesia menghasilkan 275 TWh listrik dari pembangkit dengan total kapasitas sebesar 69,1 Gigawatt (GW). Ironisnya, hampir 90% listrik tersebut dihasilkan dari pembangkit listrik dengan energi fosil - batubara, gas, dan diesel. Hanya sebagian kecil saja yang berasal dari pembangkit energi terbarukan - air, angin, panas bumi, surya, dan biofuel.
Dominasi listrik dari pembangkit fosil tersebut diproyeksikan masih berlangsung hingga tahun 2050 nanti.
PT PLN (Persero), sebagai penyedia listrik negara, masih terikat kontrak jual beli dengan banyak pembangkit listrik swasta. Kontrak ini berlangsung hingga minimal 20 tahun. Jadi, meskipun Indonesia memiliki potensi energi surya yang demikian besar, kita tidak menggunakannya karena PLN masih terikat kontrak.Sementara itu, pemerintah juga kurang optimis dengan hanya memasang target bahwa energi surya hanya menyumbang kurang dari 10% untuk produksi listrik pada tahun 2050 nanti.
Meski demikian, saya optimis Indonesia mampu mencapai lebih dari sekadar 10% di tahun 2050. Dengan keberadaan sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun dan ketersediaan lahan, Indonesia bisa menghasilkan 100% listrik hanya dari sinar matahari.
Berikut tiga alasannya:
1. Sinar matahari yang berlimpah
Konsumsi listrik masyarakat Indonesia saat ini baru mencapai sebesar 1 Megawatt per jam (MWh) per kapita, setara dengan 11% dari konsumsi perkapita masyarakat Singapura.Â