Lembaga Pemasyarakat bagi sebagian orang adalah tempat yang paling ditakuti dikarenakan menjadi tempat diasingkannya para terpidana, serta terdakwa yang belum mendapat putusan inkrach, padahal lembaga pemasyarakatan merupakan tempat selain menjalami hukuman bagi terpidana, lapas juga merupakan tempat rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab seperti amanat dalam konsiderans undang undang No 19 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Namun, stigma masyarakat mengenai lapas adalah “neraka” bagi penghuninya merupakan hal yang wajar dikarenakan beberapa lapas di indonesia jauh dari kata “layak”, tak heran jika banyak napi yang berusaha untuk kabur dan berusaha untuk menyuap petugas sipir sekedar plesiran diluar lapas. Persoalan lapas tidak hanya terjadi karena kurangnya para petugas sipir yang tak sebanding dengan para penghuni, namun jauh lebih dari itu kapasitas dan SOP ( standar operasional prosedur) dari lapas juga merupakan kunci agar para terpidana bisa dikendalikan.
Tujuan dari undang undang nomor 19 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum tercapai sperti yang diinginkan, alhasil, banyak mantan terpidana yang telah keluar dari lapas masih mengulangi perbuatan yang sama, padahal lapas diwujudkan agar bisa merobah kelakuan para terpidana agar menyadari, memperbaiki, dan tidak mengulangi perbuatan yang sama serta bisa kembali lagi kepada masyarakat.
Meningkatnya Jumlah Para Terpidana
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham RI melaporkan jumlah tahanan dan narapidana saat ini mencapai 188.251 jiwa. Sementara kapasitas lapas yang tersedia di 33 provinsi hanya mampu menampung 119.269 orang. Walhasil, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas sebanyak 58 persen (metrotvnews.com 30/04/16). Sumber dari banyaknya jumlah terpidana bukan hanya karena banyaknya terjadi tindak pidana itu sendiri, namun semua persoalan hukum di indonesia selalu memilih jalur hukum pidana dalam menyelesaikan persoalan hukum tersebut dengan menjatuhkan pidana, apalagi terhadap tindak pidana ringan yang mestinya bisa diselesaikan lewat jalur mediasi seperti contohnya dalam kasus pencurian yang menyebabkan kerugian bagi si korban.
Hukum pidana adalah hukum yang lebih menitik beratkan terhadap penjatuhan sanksi pemidanaan, seharusnya apabila adanya dugaan tindak pidana yang masuk pada tahap penyelidikan dan penyidikan, disinilah awal tahap yang menentukan apakah tindak pidana tersebut lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan terhadap tindak pidana tertentu atau tindak pidana ringan yang bisa dilakukan dengan upaya penyelesaian ganti rugi, berhubung tahap awal mulainya penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana itu oleh kepolisian, maka kepolisian mestinya menggunakan hak dan kewenangan diskersinya sebagaimana diatur dalam undang undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kalau saja seluruh aparat penegak hukum mempunyai semangat bahwa penegakan hukum itu tidak hanya memberikan penghukuman pada pelaku, mungkin jumlah terpidana tidak meningkat sebanyak data yang telah dihimpun oleh dirjen lapas, karena upaya pidana adalah upaya terakhir seperi azaz hukum “ultimum remedium” yaitu upaya penegakan hukum pidana dilakukan untuk upaya terakhir apabila tidak bisa dilakukan dengan cara-cara lain yang tidak melanggar ketentuan dalam penegakan hukum.
Bebas Plesiran
Membahas Para napi yang plesiran, hingga mempunyai ruangan seperti layaknya rumah pribadi di dalam lapas bukan hal yang baru lagi, namun setiap ada pemberittaan terkait napi yang bebas keluar masuk dengan alasan berobat dan berbagai alasan lainnya. Sebut saja terpidana korupsi di dirjen pajak Gayus Tambunan. Baru baru ini, lembaga pemasyarakatan sukamiskin Bandung menjadi sorotan lagi, ini bukan hanya kejadian pertama dan bukan pertama kalinya lembaga pemasyarakatan di Indonesia menjadi sorotan. Dari berbagai kasus yang melibatkan oknum aparat sipir lapas, namun kasus terbaru di lapas sukamiskin bandung menjadi viral karena beberapa teripidana bebas keluar masuk lapas, bahkan bisa sampai plesiran ke luar daerah, pengawasan terhadap oknum nakal dirjen lapas merupakan hal yang sangat diperlukan, dikarenakan banyak oknum sipir nakal yang terlibat jual beli praktek penyalahgunaan waktu izin keluar lapas.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkum Ham Jabar Molyanto mengatakan, ketiga narapidana itu adalah Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton, ketiganya merupakan narapidana dalam kasus korupsi (jabar.tribunnews.com/2017/02/10/). Heran, memang mengherankan karena para napi yang bisa bebas keluar masuk dalam lapas memang hanya mereka yang menjadi terpidana kasus korupsi, kita mungkin jarang dan tak pernah mendengar bahwa yang bebas keluar masuk itu adalah narapidana dalam kasus kecil seperti pencurian dan narapidana kasus pidana lainnya yang tergolong tindak pidana ringan dan biasa.
Perlunya Tim Pengawasan Terhadap Dirjen Lapas
Segelumitpermasalahan di dalam lembaga pemasyarakatan memang sejak dari beberapa pergantian kepimpinan, namun perbaikan terhadap problematika yang ada di lapas belum terlalu maksimal, mulai dari kurangnya tenaga sipir yang tidak seimbang dengan jumlahnya narapidana, sistem keamanan, standar operasinal prosedur ( SOP ) bagi narapidana yang izin keluar lapas, hingga tidak layakknya sebagian lapas di Indonesia, serta kurangnya anggaran bagi lapas seluruh Indonesia. Ini tentu menjadi seluruh beban dan tanggung jawab pemerintah, termasuk kita sebagai masyarakat yang bisa turut mengawasi.
Pengawasan terhadap sebuah lembaga tentu sangat diperlukan agar, terjadi keseimbangan dalam melakukan tugas pokok terhadap lembaga itu sendiri dalam melakukan tanggung jawab dan kewajiban agar tidak banyak terjadi penyimpngan penyimpangan yang menyebabkan kerugian baik dari lembaga itu sendiri, maupuan kerugian terhadap masyarakat.
Dalam kasus plesiran narapidana yang terjadi di lapas sukamiskin bandung, tentu menjadi preseden buruk bagi kemenkumham, bagaimana tidak, oknum sipir yang seharusnya melakukan pengawasan dan penjagaan terhadap para napi malah memberikan kebebasan. Terkait pemberian sanksi kepada petugas sipir tersebut tentu tidak cukup hingga disana serta belum bisa menyelesaikan permasalahan, sebab sesuai standar operasional prosedur izin narapidana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sesuai pasal 17 ayat (2) Pelayanan kesehatan bagi penderita di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat izin tertulis dari Kepala LAPAS.
Sudah barang tentu bahwa Kepala LAPAS juga turut andil dalam pemberian penyalahgunaan izin keluar lapas yang dalam hal ini lapas sukamiskin bandung. Kalau kita sedikit bertanya tentang narapidana tersebut terhadap izin berobat keluar lapas, apakah mereka mempunyai riwayat sakit yang sama dalam waktu yang bersamaan??
Sudah seharusnya inspektorat jendral kemenkum HAM melakukan investigasi, serta membuat suatu regulasi internal lapas agar permalasahan yang itu dan itu terus supaya adanya perbaikan sistem di dalam lapas seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H