Setelah membaca satu artikel di lini media online malam ini, jumat 4 oktober 2024 atau 1 Rabiul akhir 1446 H, yang di tulis oleh Kyai Lutfi Hakim, imam besar FBR di : https://www.suarakaumbetawi.com/2024/10/menjemput-takdir-baru-kaum-betawi-di_4.html saya sendiri, penulis berhasrat untuk menakar ikhtiar dengan sedikit tambahan data dan statistik ikhtiar kita semua ke dalam saduran artikel beliau seperti yang aye tulis dan susun berikut ini ; Pilkada 2024 menjadi momen bersejarah bagi Jakarta, kota yang kini telah kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara setelah berpuluh-puluh tahun menjadi pusat pemerintahan.
Perpindahan ibu kota ke Penajam, Kalimantan Timur, memberikan peluang baru bagi Jakarta untuk menemukan identitasnya sebagai kota global.
Namun, dalam transisi ini, ada satu elemen penting yang tidak boleh diabaikan: budaya Betawi.
Di tengah kemegahan modernisasi Jakarta, nasib budaya lokal ini sering kali terpinggirkan.
Sejak wacana pemindahan ibu kota dimulai, "Kaukus Muda Betawi" yang dipimpin oleh KH. Lutfi Hakim, Imam Besar FBR, dan Beky Mardani, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, tidak tinggal diam.
Memperjuangkan pengakuan formal bagi masyarakat Betawi melalui pendirian "Lembaga Adat Masyarakat Betawi (LAM Betawi) " serta penguatan budaya Betawi dalam Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Berkat usaha beliau-beliau, pada tahun 2024, pasal 31 UU No. 2 Daerah Khusus Jakarta resmi mengakui pentingnya LAM Betawi dan memajukan kebudayaan Betawi sebagai bagian integral dari regulasi Jakarta.
Namun, pengakuan ini hanyalah langkah awal. Keberhasilan perjuangan kaum Betawi masih bergantung pada implementasi regulasi turunannya, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) maupun Peraturan Gubernur (PERGUB), yang diharapkan akan dihasilkan oleh pemerintah provinsi Jakarta.
Membangun Identitas Lokal di Tengah Jakarta yang Modern Jakarta bukan hanya pusat ekonomi dan bisnis Indonesia, tetapi juga rumah bagi lebih dari "10,5 juta penduduk", di mana sekitar 23% di antaranya adalah masyarakat Betawi. Sebagai salah satu suku asli Jakarta, Betawi memiliki warisan budaya yang sangat kaya, mulai dari "Bir Pletok", "Tanjidor", hingga "Silat Betawi" (atau di Betawi kita sebut dengan "maen pukulan).
Namun, modernisasi yang masif di ibu kota ini sering kali membuat budaya lokal tersingkirkan.
Sebuah penelitian terbaru oleh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (dulu sekarang DKJ) menunjukkan bahwa lebih dari 60% warga Betawi di Jakarta merasa bahwa budaya mereka semakin tidak terlihat dalam keseharian, kalah oleh pengaruh global dan tren modern.
Di tengah tekanan globalisasi dan pengaruh asing, kebudayaan Betawi membutuhkan proteksi yang lebih kuat. "LAM Betawi" diharapkan dapat menjadi institusi yang menjaga keaslian dan keberlangsungan budaya ini, agar tidak lenyap di tengah arus zaman. Lembaga ini juga diharapkan mampu mengoordinasikan berbagai organisasi masyarakat berbasis Betawi, seperti "Bamus Betawi", yang selama ini sering kali mengalami fragmentasi dan konflik internal.
Bamus Betawi sendiri telah mengalami setidaknya empat kali pemekaran akibat perbedaan pandangan di antara anggotanya.
Fragmentasi ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Betawi membutuhkan payung formal dalam bentuk Lembaga Adat yang lebih kuat dan didukung oleh hukum.
Budaya Betawi dan Ekonomi Jakarta: Sebuah Keterkaitan Strategis Pilkada 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin baru untuk Jakarta, tetapi juga tentang memilih arah kebijakan yang akan mengamankan posisi Jakarta sebagai kota global sekaligus melestarikan identitas lokalnya.
Berdasarkan laporan "Jakarta Smart City", Jakarta pada tahun 2023 telah menjadi salah satu dari "Top 10 Smart Cities" di dunia, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai "5,12%".
Namun, di balik pencapaian ekonomi tersebut, ada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya. Sebagai contoh, di Seattle, Amerika Serikat, modernisasi menyebabkan budaya lokal mereka terkikis oleh musik Inggris seperti "The Beatles" dan "Rolling Stones".
Namun, dari krisis budaya tersebut, muncul "Kurt Cobain" dengan genre "grunge" yang justru melahirkan identitas baru bagi kota tersebut. Jakarta, dengan segala tantangannya, membutuhkan "Kurt Cobain" ala Betawi---seseorang atau sekelompok orang yang mampu menjaga dan mempopulerkan budaya Betawi di tengah arus modernisasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan gubernur yang terpilih dalam Pilkada 2024, harus mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa budaya Betawi tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Salah satu langkah yang paling mendesak adalah alokasi "dana abadi kebudayaan" yang dikhususkan untuk program-program pemajuan budaya Betawi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2024.
Dana ini akan digunakan untuk mendukung pelestarian budaya, pendidikan, serta program-program kreatif yang menggabungkan kearifan lokal Betawi dengan ekonomi kreatif.
Mengapa Gubernur 2024 Harus Berkomitmen Pada Betawi? Masyarakat Betawi kini menghadapi pilihan krusial di Pilkada 2024.
Siapa pun yang terpilih sebagai Gubernur Jakarta harus menyadari bahwa pasal 31 UU DKJ merupakan mandat yang harus dipenuhi.
Mengabaikan budaya Betawi sama saja dengan meremehkan sejarah panjang kota ini.
Lebih dari sekadar pelestarian budaya, penguatan identitas Betawi juga merupakan bagian dari strategi untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang berakar pada tradisi, namun tidak tertinggal dari perkembangan dunia. Komitmen gubernur terpilih nantinya harus mencakup pelembagaan "Lembaga Adat Masyarakat Betawi", memastikan keberlanjutan "dana abadi kebudayaan", dan menyusun regulasi pelestarian budaya dalam bentuk "Perda" maupun "Pergub" yang progresif.
Dengan menjadikan ketahanan budaya sebagai prioritas, Jakarta dapat menjadi model bagi kota-kota global lainnya yang juga tengah menghadapi tantangan serupa---yaitu, menjaga keaslian budaya lokal di tengah transformasi menjadi pusat ekonomi global.
Betawi, sebagai bagian integral dari Jakarta, harus memastikan bahwa budaya mereka tidak hanya menjadi hiasan sejarah, tetapi tetap hidup, berkembang, dan menginspirasi generasi mendatang.
Masa depan Jakarta bukan hanya soal gedung pencakar langit atau jalur ekonomi global, tapi juga tentang bagaimana warisan budaya Betawi tetap menjadi nafas kota ini. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H