Membangun Identitas Lokal di Tengah Jakarta yang Modern Jakarta bukan hanya pusat ekonomi dan bisnis Indonesia, tetapi juga rumah bagi lebih dari "10,5 juta penduduk", di mana sekitar 23% di antaranya adalah masyarakat Betawi. Sebagai salah satu suku asli Jakarta, Betawi memiliki warisan budaya yang sangat kaya, mulai dari "Bir Pletok", "Tanjidor", hingga "Silat Betawi" (atau di Betawi kita sebut dengan "maen pukulan).
Namun, modernisasi yang masif di ibu kota ini sering kali membuat budaya lokal tersingkirkan.
Sebuah penelitian terbaru oleh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (dulu sekarang DKJ) menunjukkan bahwa lebih dari 60% warga Betawi di Jakarta merasa bahwa budaya mereka semakin tidak terlihat dalam keseharian, kalah oleh pengaruh global dan tren modern.
Di tengah tekanan globalisasi dan pengaruh asing, kebudayaan Betawi membutuhkan proteksi yang lebih kuat. "LAM Betawi" diharapkan dapat menjadi institusi yang menjaga keaslian dan keberlangsungan budaya ini, agar tidak lenyap di tengah arus zaman. Lembaga ini juga diharapkan mampu mengoordinasikan berbagai organisasi masyarakat berbasis Betawi, seperti "Bamus Betawi", yang selama ini sering kali mengalami fragmentasi dan konflik internal.
Bamus Betawi sendiri telah mengalami setidaknya empat kali pemekaran akibat perbedaan pandangan di antara anggotanya.
Fragmentasi ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Betawi membutuhkan payung formal dalam bentuk Lembaga Adat yang lebih kuat dan didukung oleh hukum.
Budaya Betawi dan Ekonomi Jakarta: Sebuah Keterkaitan Strategis Pilkada 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin baru untuk Jakarta, tetapi juga tentang memilih arah kebijakan yang akan mengamankan posisi Jakarta sebagai kota global sekaligus melestarikan identitas lokalnya.
Berdasarkan laporan "Jakarta Smart City", Jakarta pada tahun 2023 telah menjadi salah satu dari "Top 10 Smart Cities" di dunia, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai "5,12%".
Namun, di balik pencapaian ekonomi tersebut, ada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya. Sebagai contoh, di Seattle, Amerika Serikat, modernisasi menyebabkan budaya lokal mereka terkikis oleh musik Inggris seperti "The Beatles" dan "Rolling Stones".
Namun, dari krisis budaya tersebut, muncul "Kurt Cobain" dengan genre "grunge" yang justru melahirkan identitas baru bagi kota tersebut. Jakarta, dengan segala tantangannya, membutuhkan "Kurt Cobain" ala Betawi---seseorang atau sekelompok orang yang mampu menjaga dan mempopulerkan budaya Betawi di tengah arus modernisasi.