Ke depannya, kita harus membangun sistem politik yang lebih transparan dan adil, di mana gratifikasi dan politik uang, baik dalam bentuk tradisional maupun digital, tidak lagi merusak demokrasi.
Teknologi digital bisa menjadi bagian dari solusi ini, namun hanya jika digunakan dengan benar dan disertai komitmen kuat untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Bagi Kaesang, tantangannya adalah membuktikan bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang mengedepankan integritas, bukan sekadar mengandalkan nama besar atau modal yang dimilikinya.
Betawi harus diikutsertakan dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Jakarta bukan hanya kota untuk para penguasa baru atau investor besar, tapi juga milik mereka yang telah lama menjaga adat, budaya, dan sejarahnya.
Adab dan Adat yang Terkikis: Ujung Jalan Pilkada Jakarta di Tahun 2024
Di langit Jakarta yang berdebu, bayangan pemilihan kepala daerah tahun 2024 semakin jelas. Di antara gemuruh suara kampanye dan bendera yang berkibar di setiap sudut jalan, ada bisik-bisik yang lebih pelan namun tak kalah mematikan: bisik-bisik tentang uang, tentang janji-janji yang takkan pernah terpenuhi, dan tentang kehormatan yang tergadaikan.
Jakarta, kota yang telah menjadi simbol kemegahan sekaligus ketidakadilan, kini berada di persimpangan sejarah. Dengan Pilkada yang menjulang, nama-nama calon mencuat ke permukaan---ada yang membawa panji "putra daerah", memanfaatkan keistimewaan adat dan kebanggaan etnis Betawi, sementara yang lain datang dengan segunung modal dan dukungan dari luar. Tapi apakah benar yang mereka bawa adalah mimpi untuk rakyat?
Kita ingat, Betawi bukanlah sekadar suku atau latar belakang etnis semata. Betawi adalah jiwa, identitas, dan kebudayaan yang berakar kuat pada adab dan adat. Dari zaman Batavia hingga kini, Betawi telah melewati badai penjajahan, reformasi, hingga gempuran globalisasi. Dalam setiap detak nadi sejarahnya, adab dan adat dijunjung tinggi. Tapi, di mana adab ketika pemimpin yang katanya putra daerah justru bergelimang gratifikasi? Di mana adat ketika apa yang dulu dianggap sakral, kini dijual murah di pasar politik?
Perhatikan permainan yang berlangsung di belakang layar. Kandidat-kandidat yang katanya "putra daerah" atau yang mewakili? atau bahkan ada yang berani mengatasnamakan!? datang dengan janji manis dan senyum yang teduh. Namun di balik itu, ada relasi yang penuh dengan aroma gratifikasi dan kepentingan pribadi. Setiap suara yang diberikan memiliki nilai tukar; bukan lagi tentang kepercayaan, tapi tentang uang yang mengalir di bawah meja. Di sinilah kita bertanya, di mana adab yang seharusnya dipertahankan? Di mana adat yang katanya dijunjung tinggi?
Di sisi lain, institusi-institusi besar yang ada untuk menjaga demokrasi, seperti KPU dan Bawaslu, seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk kebisingan dan keruwetan. Mereka seolah tersandera oleh kekuatan uang dan pengaruh politik yang mencekam. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bertebaran di mana-mana, mencemari proses demokrasi yang semestinya suci. Pilkada 2024 bukan lagi menjadi ajang untuk mencari pemimpin yang memiliki visi bagi rakyat, melainkan sekadar perayaan uang yang berputar.
Di tengah kekacauan ini, platform-platform digital seperti Indodax hadir dengan warna baru dalam peta ekonomi Jakarta. Indodax, yang menjadi simbol revolusi keuangan dengan teknologi blockchain, membawa janji akan transparansi dan keadilan dalam perdagangan aset digital. Tapi, ironisnya, dalam Pilkada Jakarta, transparansi dan keadilan justru semakin jauh. Transaksi uang elektronik mungkin terjadi di luar radar publik, namun benang merahnya tetap sama: siapa yang memiliki uang, dialah yang berkuasa.
Adakah harapan untuk Betawi bangkit? Apakah semua ini hanya akan menjadi siklus yang berulang, di mana suara rakyat kecil hanya dijadikan komoditas bagi mereka yang memiliki modal? Betawi, dengan segala kekayaan budayanya, kini terancam kehilangan jati diri. Para calon pemimpin yang mengklaim sebagai putra daerah seharusnya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga warisan ini. Bukan malah merusaknya dengan praktik-praktik kotor yang menghancurkan fondasi kepercayaan.