Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60 Tahun 2024 menggemparkan peta politik Indonesia, khususnya di Jakarta.
Keputusan ini mengatur kembali aturan pencalonan dalam Pilkada, membuka jalan bagi tokoh-tokoh lokal yang selama ini terpinggirkan, termasuk komunitas Betawi, untuk lebih berperan aktif dalam memimpin ibu kota.
Di balik keputusan ini, tersirat sebuah momentum bagi Betawi untuk merebut kedaulatan politik yang sudah lama dinanti-nantikan.
Keputusan MK No. 60 Tahun 2024: Peluang Emas bagi Kaum Betawi Keputusan ini mengubah ambang batas pencalonan yang sebelumnya hanya didasarkan pada perolehan kursi DPRD, menjadi lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan jumlah penduduk.
Ini merupakan panggilan takdir, satu momentum Kebangkitan Kaum Betawi: Peluang Baru untuk Memimpin di kampung kita sendiri.
Sejarah Jakarta sebagai ibu kota negara dulu sebelum di pindahkan ke IKN, tak bisa dilepaskan dari akar budaya Betawi yang kuat.
Namun, dalam perjalanan panjang politik daerah ini, kaum Betawi kerap terpinggirkan dari kursi kepemimpinan politik eksekutif tertinggi di tanah leluhurnya sendiri yaitu untuk menjadi "Gubernur".
Bagi kaum Betawi, yang menjadi komunitas asli di Jakarta, ini adalah peluang emas.
Dengan basis suara yang kuat di beberapa wilayah tradisional seperti Condet, Kebon Jeruk, dan Tanah Abang, tokoh-tokoh Betawi kini memiliki kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon pemimpin Jakarta.
Secara statistik, Betawi mencakup sekitar 30% dari populasi Jakarta, dengan lebih dari 2,5 juta jiwa.
Potensi ini memberikan basis suara yang sangat signifikan, terlebih dengan keputusan MK yang memungkinkan lebih dari satu pasangan calon di setiap daerah pemilihan.
Hal ini membuka jalan bagi tokoh-tokoh Betawi untuk maju tanpa harus menghadapi dominasi politik dari partai-partai besar yang selama ini lebih mengutamakan kandidat dari luar.
Simulasi Peluang Calon Betawi Mari kita lihat simulasi peluang Betawi dalam Pilkada Jakarta 2024.
Jika seorang calon dari Betawi seperti Bang Haji Hasbi, Bang Haji Oding, Kyai Lutfi imam besar FBR, Bang Haji Mohammad Ihsan, Bang Biem, Bang Dai, mereka tidak hanya akan memperoleh dukungan dari komunitas Betawi, tetapi juga dari kelompok masyarakat lain yang merindukan kepemimpinan yang dekat dengan budaya lokal.
Dengan populasi pemilih Betawi yang besar, seorang calon Betawi bisa mendapatkan sekitar 1,2 juta suara, lebih dari cukup untuk masuk ke putaran kedua, apalagi jika koalisi dengan partai-partai lokal dan relawan komunitas dilakukan secara efektif.
Perbandingan dengan Calon Gubernur Non-Betawi Calon-calon non-Betawi, seperti Anies Baswedan yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur, atau Ridwan Kamil yang namanya disebut-sebut sebagai calon kuat, memiliki keunggulan dalam hal popularitas dan dukungan dari partai-partai besar.
Namun, mereka menghadapi tantangan untuk mendapatkan dukungan dari komunitas lokal Betawi yang semakin sadar akan pentingnya representasi dalam pemerintahan daerah.
Anies, yang memiliki popularitas tinggi karena keberhasilannya dalam memimpin Jakarta selama satu periode, cenderung mengandalkan program-program besar yang berskala nasional.
Ridwan Kamil, di sisi lain, dikenal sebagai sosok inovatif dengan basis dukungan yang kuat dari komunitas kreatif dan masyarakat urban.
Namun, keduanya kurang memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan masyarakat Betawi, yang menginginkan pemimpin yang benar-benar memahami dan merasakan kehidupan sehari-hari mereka.
Kedaulatan Politik di Tangan Sendiri Dengan keputusan MK ini, komunitas Betawi memiliki peluang nyata untuk memimpin di kampung halamannya sendiri.
Ini bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi tentang kedaulatan politik---hak untuk menentukan nasib sendiri di tanah leluhur Kaum Betawi.
Pemimpin dari Betawi akan memiliki keunggulan dalam hal pemahaman lokal dan budaya, yang penting untuk memastikan kebijakan yang lebih inklusif dan berakar pada kebutuhan masyarakat setempat.
Jika langkah ini berhasil, ini akan menjadi preseden penting bagi komunitas-komunitas lokal lainnya di seluruh Indonesia.
Betawi akan menjadi contoh bagaimana komunitas asli dapat bangkit dan mengambil peran aktif dalam memimpin daerah mereka sendiri, mengukir sejarah baru di panggung politik nasional.
Kesimpulan penulis adalah Keputusan MK No. 60 Tahun 2024 adalah panggilan takdir bagi Betawi.
Ini adalah momen di mana kedaulatan politik tidak hanya menjadi mimpi, tetapi juga kenyataan yang bisa dicapai.
Dengan strategi yang tepat dan dukungan komunitas, Betawi memiliki peluang besar untuk mengubah peta politik Jakarta, menjadikan diri mereka tidak hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga penentu masa depan.
Dengan tokoh-tokoh lokal yang memiliki kedekatan dengan nilai-nilai Betawi, dan dengan pemahaman yang mendalam tentang masalah dan potensi wilayah mereka, kesempatan ini menjadi momen krusial bagi komunitas Betawi untuk bangkit dan mengukir sejarah baru.
Kebangkitan ini bukan hanya tentang mendapatkan kekuasaan, tetapi juga tentang menjaga warisan dan memperjuangkan hak untuk memimpin di tanah sendiri.
Dengan dukungan komunitas dan aliansi yang kuat, calon dari Betawi bisa menjadi representasi sejati dari Jakarta, sebuah kota yang kaya akan keberagaman, namun tetap berakar kuat pada budaya lokalnya.
Keputusan MK ini bukan sekadar perubahan teknis dalam aturan pemilu, melainkan peluang besar bagi kaum Betawi untuk menunjukkan bahwa mereka mampu, layak, dan siap memimpin Jakarta. Ini adalah saat di mana mimpi memimpin di kampung halaman sendiri dapat menjadi kenyataan, menginspirasi generasi berikutnya untuk terus berjuang dan melestarikan warisan budaya Betawi di tengah modernitas Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H