Mohon tunggu...
David Andrea
David Andrea Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Dusun Wuni di Pelosok Rembang

21 April 2017   04:39 Diperbarui: 21 April 2017   15:00 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah ada sebuah dusun terletak di pelosok Rembang, bernama Dusun Wuni, Desa Kajar, Kecamatan Gunem. Desa yang terletak di wilayah pegunungan kapur tersebut memuat 125 keluarga atau sekitar 700 jiwa. Bertahun-tahun, mereka bertahan di wilayah yang dianggap  tandus dan tidak memiliki mata air tersebut. Demi mendapatkan air yang memadai. Warga desa harus menempuh perjalanan lintas kabupaten. Mereka harus ke Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora.

Tanaman jati, merupakan salah satu tumbuhan yang bisa bertahan di wilayah setandus Dusun Waru. Sedangkan manusianya, harus berjalan sejauh 1 sampai 2 kilometer hanya untuk mendapatkan 1 hingga 2 jirigen air yang berisi 20 liter. Ya, dua jirigen tersebut sekali lagi harus didapat di Kabupaten sebelah, Blora.

Namun itu dulu..

Kini, Warga dusun Wuni sudah mendapatkan secercah harapan. Kini mereka bisa mendapatkan air bersih tanpa harus bersusah payah berjalan berkilometer untuk mendapatkan air. Sebuah perusahaan Semen milik negara, Semen Indonesia, membuat sebuah program instalasi air di wilayah tersebut. Kalau dulu mereka harus berjalan 1 hingga 2 kilometer. Kini mereka cukup berjalan 5 meter untuk mendapatkan air.

Tak hanya air. Kini warga pun bisa mendapatkan alternative pekerjaan dari kehadiran perusahaan semen plat merah tersebut. Sebutlah sekuriti, hingga menjadi vendor untuk membuat peti kayu untuk memuat semen. Hidup. Produktif. Mampu mengisi perut sendiri.

Mereka kini berharap pabrik tersebut melanjutkan rencana untuk membangun instalasi air hingga masuk ke kamar mandi sendiri. Impian mereka tidak muluk-muluk. Cukup hanya bisa mandi 2 kali sehari dengan air layak. Hal yang dulu terasa mewah dan melelahkan, kini bisa hadir tanpa mengeluarkan keringat. Jika dulu keringat dikeluarkan untuk mencari air, kini keringat bisa dikeluarkan dalam rangka mencari penghidupan lain.

Warga Dusun Wuni merupakan salah satu gambaran bagaimana sebuah desa bisa berubah dan berjalan beriringan dengan hadirnya BUMN di wilayah tersebut. Sebuah hal yang langka terjadi dikala dahulu. Kini pemerataan mulai terasa hingga sudut-sudut jauh di pelosok desa. Tak hanya hingar bingar di ibukota.

Kini, warga Dusun Wuni mungkin sedikit cemas.

Bagaimana tidak, warga kini harus menanggung hal yang tidak pernah mereka bayangkan mungkin. Kala sebuah pabrik yang mulai menjadi harapan mereka kini harus tersendat operasinya hanya karena beberapa manusia yang sedang asik minum kopi disudut ibukota berteriak bahwa pabrik tersebut merusak desa dan tidak memakmurkan rakyat.

Ajaib?

Ajaib karena ketika warga desa yang sudah puluhan tahun mengalami dahaga air, harus mengalami kecemasan hanya karena adanya segelintir warga ibukota yang sok peduli dengan mereka. Namun tidak pernah merasakan rasanya jalan kali beberapa kilo hanya untuk mendapatkan air untuk sekedar cuci piring dan mandi. Ya, mana pernah mereka merasakan rasanya kehausan kalau mereka saja protes didepan telepon genggam sembari menyeruput kopi francise di dalam kafe dingin ber-ac.

Belum diketahui secara jelas, apa maksud dan kepentingan dari kelompok-kelompok yang mengaku sebagai aktivis kemanusiaan dan LSM. Seolah-olah pabrik semen ini posisinya "pokoknya salah", tanpa melihat manfaat yang sudah diberikan si pabrik kepada warga sekitar.

Uang semata kah? Proyekan dari yang membayar? Siapa yang membayar? Tidak tahu. Apa ini ada kaitannya dengan kompetitor atau pihak asing, tak ada buktinya. Namun, sangat disayangkan dan cukup memprihatinkan melihat orang-orang itu yang sok-sokan peduli terhadap warga, mengompori warga buat demo, padahal kalau sampai pabrik semen tidak dioperasikan sama sekali, bisa hilang harapan para warga yang sempat punya angan-angan memperoleh kehidupan lebih baik.

Mereka menganggap bahwa warga di Rembang sudah makmur. Padahal nyatanya, Rembang merupakan kabupaten termiskin ketiga setelah Wonosobo dan Kebumen. Dari mana mereka beranggapan kalau warga di Rembang sudah makmur? Mungkin mereka berpikir kalau warga Rembang cukup jadi petani saja, tidak boleh lebih. Tidak boleh bekerja di pabrik. Sungguh konyol.

Di mana para aktivis kemanusiaan ketika mereka sedang kesulitan mendapatkan air dulu? Tidak ada, ya tentu saja karena dulu tak ada konflik soal pabrik jadi tidak ada duitnya. Sekarang jadi menarik karena ada duitnya. Siapa yang kasih duitnya? Siapa yang danain? Siapa aktor di balik semua yang ribut-ribut ini? Wallahualam.

source : 

http://mediaindonesia.com/news/read/101237/pabrik-semen-rembang-obati-dahaga-warga-selama-ratusan-tahun/2017-04-18#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun