Di Tengah malam ini, dalam sebuah kontempolasi Ketika lahir sebuah teori bahwa kopi memiliki Zat untuk membuat orang meminumnya tidak bisa tidur, timbul pertanyaan filosofis dari saya, Ketika begadang adalah sebuah dosa, yang harus di salahkan adalah kopi yang diminum orang begadang tersebut atau orang yang meminum kopi tersebut?, kaum konservatif pasti menyalahkan kopi, kaum liberal pasti menyalahkan orang yang meminum kopi, kaum apatis pasti menyalahkan semuanya, bahkan di titik ekstrim mereka tidak mau tahu atau masa bodoh dengan jawabannya.
Pertanyaan ini mengingatkan saya tentang berita paskibraka yang melepas jilbab (sumber https://nasional.tempo.co/read/1903878/anggota-paskibraka-lepas-hijab-karena-sudah-tanda-tangan-surat-pernyataan ) . Jika melepas jilbab adalah sebuah dosa karena itu melanggar Aqidah atau prinsip beragama seseorang, maka yang berdosa adalah Perempuan paskibrakanya ataukah oknum pembuat aturan bahwa paskibraka putri harus melepas jilbab?, ini menjadi sebuah polemik karena selain mencederai nilai-nilai Pancasila dalam hal ini sila ke 1 (satu), juga mnjadi sebuah konsep yang membenturkan antara nasionalisme dan prinsip beragama seseorang. Padahal dalam nilai Pancasila ke Indonesian dan ke Agamaan berjalan beriringan, dalam agama kita di ajarkan cinta tanah air dan secara ke Indonesiaan kita di ajarkan saling menghargai keyakinan agama orang lain.
Polemic melepas jilbab ini menjadi sebuah hal yang di luar nalar karena sudah memasuki fase kejahatan trbesar dalam sejarah kebangsaan di Indonesia, bagaimana tidak jika kita mengingat kembali Sejarah pembentukan dasar negara RI sebelum menjadi UUD 1945, kita mengenal yang namanya piagam Jakarta. Isi piagam tersebut membahas Mengenai dasar negara Indonesia, dan di salah satu kalimat di piagam Jakarta tersebut berbunyi "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kata bagi pemeluknya tersebut jika di garis bawahi mengartikan bhwa yang menjalankan syariat Islam tersebut hanya berlaku bagi pemeluk yang beragama Islam, tidak berlaku bagi agama lain.Â
Ide tersebut lahir dari kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, namun karena semangat nasionalisme yang tinggi, dari bberapa tokoh Islam (katakanlah kaum Prularisme garis keras) dan tokoh dari agama lain memprotes isi kalimat tersebut dengan alasan bahwa di Indonesia memiliki banyak agama bukan hanya Islam saja.
Maka dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan tingkat tinggi mereka para tokoh Islam perumus piagam Jakarta menerima di hapuskannya kalimat "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" dan menggantinya dengan kalimat yang lebih bernuansa naionalis dan pluralis sumber (https://www.gramedia.com/literasi/piagam-jakarta/ ).
Menurut saya ini adalah sebuah hadiah besar dari umat Islam di Indonesia kepada bangsa Indonesia, mau mengalah walaupun berdiri sebagai mayoritas, tidak egois dan bijaksana. Maka dengan dihapuskannya kalimat suci tersebut lahirlah UUD 1945 dengan kekuatan berada di sila ke 1 (Satu) Pancasila.Â
Namun anehnya oknum yang mengeluarkan aturan melepas jilbab terkesan lupa dengan Sejarah Panjang bangsa ini, ia merobek nilai-nilai yang dijaga sejak di cetuskannya piagam Jakarta, dan saya berdoa oknum yang mengeluarkan aturan tersebut tidaklah beragama Islam. Kalau memang beragama Islam, ini menjadi sebuah bencana terhadap pribadinya sebagai orang yang memiliki aqidah dan menjadi bencana bagi bangsa ini karena memiliki pemimpin yang jauh dari nilai keimanan, keagamaan dan spritualitas. Catatan panjang ini mnjadi sebuah ekspresi tertulis saya dan juga sebagai sebuah bentuk kesedihan terhadap kondisi kebangsaan sekarang.
Jika kembali kepada kasus kopi tadi, saya akan menyalahkan orangnya, kenapa mau minum kopi padahal ia punya pilihan untuk tidak meminumnya, kopi tidak bersalah karena ia tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih untuk menjadi manis atau asin, ia sudah di bentuk sperti itu dengan zat-zat yang menyertainya. Maka jika kembali lagi kepada Kasus paskibra yang melepas jilbab, yang di salahkan haruslah oknum yang membuat aturan tersebut.Â
Kemudian timbul pertanyaan lagi, knapa bukan Perempuan paskibrakanya yang di salahkan tapi oknum pembuat aturan?, maka jawabannya adalah seperti kopi tadi, ia (Perempuan paskibraka) tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih, ia hanya mengikuti aturan yang dibuat oleh sang pemberi aturan, maka seharusnya pembuat aturan bisa lebih bijaksana, ia memiliki kuasa dan kemerdekaan dalam memutuskan suatu aturan apakah itu sesuai dengan nilai-nilai  kebaikan atau sebaliknya.
Sejak di beritakannya peristiwa paski meLepas jilbab,
saya belum melihat adanya aksi dan reaksi dari organisasi Islam di Indonesia, termasuk organisasi Islam yang telah membentuk dan membesarkan saya. Entah itu dari HMI, PMII, IMM, KAMMI dan lain2, apakah mereka para aktivis ini sudah tumpul secara nalar atau sudah terkooptasi dengan kekuasaan itu yang saya kurang ketahui. Yah kalimat terakhir dalam tulisan ini, saya cukup berduka dengan nestapa negeri ini khususnya umat Islam di Indonesia dengan peristiwa 18 paskibraka perempuan melepas jilbab dalam acara pengukuhan . Penutup tulisan ini saya tuturkan puisi atau surat buya HAMKA kepada Natsir.Kepada Saudaraku M. Natsir
Di pertengahan 1950an itu...
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaummu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu...!
Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.
Gorontalo, 16 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H