Mohon tunggu...
Pendidikan

Long-Form Journalism, Tantangan Baru di Era Baru

8 Oktober 2018   11:12 Diperbarui: 8 Oktober 2018   16:06 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Long-form Journalism - Dok. Pribadi

Secara umum, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan menyajikan berita atau informasi kepada khalayak, mulai dari pencarian serta pengumpulan data di lapangan, lalu menuangnya dalam bentuk tulisan untuk dapat dipublikasikan kepada khalayak pembaca. Dalam dunia jurnalistik, umumnya terdapat tiga jenis berita:

  • Berita Langsung (Straight News)
  • Berita Ringan (Soft News)
  • Berita Kisah (Feature)

Long-form journalism sendiri merupakan bentuk penulisan berita yang mengadopsi bentuk penulisan jurnalistik sastrawi. Sesuai dengan namanya, long-form journalism mengedepankan penulisan artikel yang memiliki jumlah tulisan yang cukup banyak. Hal ini yang kemudian membawa sesuatu yang baru dalam dunia jurnalistik. Sehingga pada tahun 1960-an, wartawan-cum-novelis, Tom Wolfe memperkenalkan aliran ini dengan nama "new journalism" atau jurnalisme baru di mana terjadi persilangan pola jurnalistik konvensional (model piramida terbalik) dengan gaya sastrawi yang menerapkan kaidah sastra.

Jurnalisme Baru

Pada tahun 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan sebuah tulisan berjudul "The New Journalism". Mereka berkata bahwa aliran jurnalistik ini sangat berbeda dari reportase sehari-hari di mana dalam bertutur, mereka menggunakan scene by scene construction (adegan demi adegan), kemudian reportase yang menyeluruh, ada penggunaan sudut pandang ketiga dan banyak hal yang dikupas dengan sangat rinci.

Wawancara juga tidak hanya dilakukan dengan satu atau dua narasumber, ia melakukan wawancara lebih dari puluhan hingga ratusan narasumber dengan waktu pengerjaan hingga berbulan-bulan. Jurnalistik baru bukan hanya sekedar in-depth reporting, namun lebih dari itu. Jurnalis akan masuk ke dalam psikologi aktor dari fenomena yang disoroti, kemudian akan menemukan karakter, drama, plot, adegan, konflik.

Jurnalistik Sastrawi

John Hersey, 1958, photographed by Carl Van Vechten (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/John_Hersey)
John Hersey, 1958, photographed by Carl Van Vechten (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/John_Hersey)
   
Wolfe at the White House in 2004 (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Tom_Wolfe)
Wolfe at the White House in 2004 (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Tom_Wolfe)
   

Jurnalistik Sastrawi sebagai perwujudan jurnalisme baru lahir pada tahun 1970-an. Dipelopori oleh beberapa tokoh diantaranya John Hersey, Tom Wolfe, Norman Mailer, Gay Talese serta tokoh lainnya.

Sebelum muncul istilah Jurnalistik Sastrawi yang menjadi cikal bakal kelahiran long-form journalism, orang banyak menyebut aliran jurnalisme yang satu ini dengan sebutan "feature" yang adalah tulisan atau karangan yang digunakan sebagai pelengkap berita. Namun, seiring berjalannya waktu, makna feature mengalami evolusi. Saat ini feature bukan hanya merupakan pelengkap berita, melainkan bagian utama dari berita itu sendiri.

Molly Blair dalam kajiannya memposisikan feature dan Jurnalistik Sastrawi sebagai penopang yang sama-sama membentuk dan membangun "creative writing". Walau memiliki beberapa kesamaan, gaya publikasi keduanya jelas berbeda.

Long-form Journalism

Sesuai dengan istilahnya, long-form journalism memiliki ciri khas bentuk artikel yang panjang. Biasanya tiap artikelnya terdiri dari 1.000 hingga 20.000 kata yang berasal dari hasil investigasi atau in-depth reporting. Jurnalis akan masuk ke dalam psikologi aktor dari fenomena yang disoroti, kemudian akan menemukan karakter, drama, plot, adegan, konflik dan semua dituang dalam bentuk tulisan dengan kaidah sastra.

Sama halnya dengan hard news atau jenis berita lain, long-form journalism juga menggunakan unsur 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why, How). Namun tentu dengan penyajian dan elemen yang berbeda pula. Di Indonesia, long-form journalsim baru mulai dikenal pada tahun 1990-an.

Abad ke-20

Long-form journalism pada awalnya diterapkan pada media massa cetak, yaitu majalah. Dipelopori oleh media luar seperti Reader's Digest, The Atlantic, dan Harper's Bazaar, jurnalisme long-form mulai diterapkan.

Di Indonesia, majalah Tempo disebut-sebut sebagai salah satu media yang menjadi inisiator dalam penerapan jurnalisme baru. Saat berdiri, Tempo merupakan satu-satunya media yang menggunakan teknik bercerita dalam menulis kontennya.

Goenawan Muhammad (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Goenawan_Mohamad)
Goenawan Muhammad (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Goenawan_Mohamad)
 
Eka Budianta (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Eka_Budianta)
Eka Budianta (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Eka_Budianta)
Kemudian, media lain mulai mengikuti Tempo. Ketidakraguan Tempo dalam mengadopsi "jurnalistik baru" ini disebabkan karena para awak Tempo didominasi oleh sastrawan. Sehingga apa yang mereka tulis dan laporkan, ikut terpengaruh gaya sastra. Mereka adalah Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno serta kolumnis lainnya yang juga merupakan jurnalis-sastrawan.

Selain dari jurnalis-sastrawan Tempo, banyak jurnalis-sastrawan yang ikut turut andil dalam dinamika jurnalistik sastrawi di Indonesia, diantaranya Remy Syldo dari majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan dari majalah Sarinah, Titie Said dari majalah Kartini dan banyak jurnalis-sastrawan lain. Tidak hanya sebagai inisiator, para jurnalis-sastrawan juga memberikan pelatihan bagi jurnalis yang ingin mengetahui jurnalisme baru ini lebih jauh. Para awak jurnal Pantau contohnya yang dengan gencar mensosialisasikan jurnalisme baru ini bagi jurnalis-jurnalis pemula.

Abad ke-21

Di abad ke-21 seiring berkembangnya teknologi dan kemunculan media baru yang erat kaitannya dengan internet, long-form journalism mulai berkembang dan memasuki dunia internet. Sehingga penerapannya bukan hanya di majalah saja.

Long-form journalism mulai meramaikan internet tentu dengan ciri khasnya yaitu bentuk artikel yang panjang dan mendalam. Beberapa media online yang menerapkan long-form journalism antara lain Medium, Buzzfeed, The New York Times, The New Yorker, The Atavist, terdapat juga website yang menyediakan artikel long-form dari berbagai sumber, yaitu Longreads.com dan Longform.org.

Di Indonesia, long-form journalism dapat ditemui di beberapa portal berita online, salah satunya adalah Tirto.id. Media online yang muncul tahun 2016 ini menganut penulisan long-form dalam setiap artikel yang diterbitkannya. Tidak hanya sekedar tulisan, Tirto.id juga menyisipkan gambar dan inforgrafis untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi berita.

CNNIndonesia juga sempat menerbitkan berita dengan format long-form pada lamannya, salah satunya yang berjudul "Demam Ganja di Indonesia" dan "Dongeng Surga Wallacea". Sama halnya dengan Tirto.id, CNNIndonesia juga mencoba untuk memberi kemudahan bagi para pembacanya dengan menyisipkan gambar atau infografik yang interaktif secara visual.

Tantangan

Walaupun masih terbilang baru, kehadiran long-form journalism di ranah online tidak dapat dihindari. Karena mengadopsi gaya penulisan jurnalistik sastrawi, tentu akan lebih mudah dimengerti apabila mereka yang membaca memiliki referensi sebelumnya, atau setidaknya sempat membaca karya sastra yang berkualitas. Sehingga melalui bacaan itu akan menghasilkan tulisan yang berkualitas pula. Inilah yang menjadi tantangan jurnalisme bagi para jurnalis.

Dilansir dalam buku Azwar (2018) yang berjudul "4 Pilar Jurnalistik: Pengetahuan Dasar Belajar Jurnalistik", kegiatan jurnalistik merupakan kegiatan untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan pendidikan jurnalistik dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri serta masyarakat, yaitu kebutuhan akan informasi tentunya.

Kesimpulan

Sebagai perwujudan jurnalistik baru, jelas long-form journalism memiliki karakter dan ciri khasnya sendiri untuk dapat dimengerti oleh para pembacanya. Long-form journalism tidak hanya menuntut penulisnya untuk bercerita tanpa arah yang jelas, namun tetap berpegang pada kaidah jurnalisme dan dipengaruhi teknik penulisan jurnalisme sastra.

Aliran jurnalistik ini juga menekankan prinsip untuk memaparkan setiap kejadian atau fenomena yang akan ditulis dari berbagai sisi secara mendalam, bukan hanya mengatakan apa yang dilihat saja. Sehingga menjadi tugas para jurnalis untuk dapat memperoleh data dan menuangkannya dalam bentuk laporan mendalam yang bisa dinikmati pembacanya.

-

Referensi:

Putra, M. S. (2010). Literary Journalism: Jurnalistik Sastrawi. Jakarta: Salemba Humanika.

Azwar. (2018). 4 Pilar Jurnalistik: Pengetahuan Dasar Belajar Jurnalistik Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.

Jelantik, A. A. K. (2017). Aktivis Jurnalistik Sekolah. Yogyakarta: Deepublish Publisher

https://www.pantau.or.id/?/=d/688

https://www.cnnindonesia.com/laporanmendalam/nasional/20160919/demamganja-di-indonesia/index.php#chap3

https://www.cnnindonesia.com/laporanmendalam/teknologi/20171114/laporanmendalam-teknologi-dongeng-surga-wallacea/index.php

https://www.nytimes.com/2011/03/28/business/media/28carr.html?_r=0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun