Jadwal kompetisi sepak bola yang semakin padat membuat para seniman lapangan hijau menyuarakan kritikannya.
Kritikan ini ditujukan kepada FIFA dan UEFA yang terlalu mengkomersialisasikan kompetisi sepak bola untuk kepentingan bisnis daripada melihat kesejahteraan pemain.Â
Kesejahteraan pemain yang dimaksud adalah waktu libur yang semakin sedikit untuk melakukan refreshing dan kumpul keluarga.
Pemain bukanlah robot yang harus bekerja tanpa henti, mereka tetaplah manusia yang sewaktu-waktu dapat mengalami inkonsitensi performa di atas lapangan.Â
Maka tidaklah mengherankan apabila banyak dijumpai klub sepak bola yang merasakan efek dari jadwal padat ini, salah satu efeknya adalah rutinitas cidera pemain.
Ketika pemain penting mengalami cidera, klub berusaha menambal dengan komposisi skuad yang ada, dengan catatan bahwa kedalam skuad tidak dalam dan kesenjangan level permainan.
Seharusnya FIFA dan UEFA menyadari akan hal itu, komersial memang penting untuk mendapatkan pundi-pundi uang yang berlimpah, mengingat sepak bola sebagai cabang olahraga terpopuler didunia.
Namun, ada hal yang lebih penting dari sekadar uang, yakni kesejahteraan pemain. Oleh karena itu, penulis memiliki argument bahwa "Komersial Juga Menjadi Racun di Dalam Sepak Bola".
Argument ini didasarkan pada sepak bola  yang telah berubah menjadi suatu industri, tentu uang menjadi prioritas.Â
Akan tetapi, mereka lupa bahwa dalam industri sepak bola, keseimbangan antara finansial dan non-finansial adalah hal utama dan terpenting yang dijalankan oleh klub sepak bola.
Sepak bola lebih dari sekadar uang, sepak bola harus dapat dinikmati setiap momennya didalam hidup kita. Kehidupan kita layaknya sepak bola, sebelum full time, semua tidak ada yang tidak mungkin, ada saatnya kita diatas angin, ada saatnya kita diabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H