Oleh: David Paska Suarya
Pernahkah pembaca mengamati di setiap Perkuliahaan dan seminar bahwa ketika seorang mahasiswa berduel argumen dengan dosennya dan pembicaranya ataupun sebaliknya ketika dosen berduel argumen dengan mahasiswanya sering kali terlihat meluapkan sifat emosionalnya, hal ini sebagai reaksi dari dua argumen yang saling menyilang, saling mencurigai, saling mengkoreksi, mengapa demikian?
Argumentasi adalah akar dari adanya pengetahuan, pengetahuan tumbuh dari perbedaan pandangan yang kemudian dicari jejak awalnya dan diuji dengan berbagai metode penelitian untuk memperkuat argumentasi tersebut.
Terkadang, ketika argumentasi berubah menjadi sentimentasi, disitulah cara berpikir yang tidak rasional mulai tumbuh, akibatnya adalah luapan emosionalnya semakin tak terkendali.
Akibat dari emosional inilah yang kemudian berakhir dengan sentimen yang dijadikan alat untuk mendapatkan kebenaran dari suatu argumen.Â
Sentimen dalam dunia akademik adalah sifat yang buruk dan tidak berlaku, karena dalam dunia akademik, akal dan pikiran harus diuji dengan akal dan pikiran juga, bukan perasaan diuji dengan perasaan.
 jadi ketika argumen bertemu argumen, maka sentimen tidak boleh disampaikan dan tidak boleh diumbarkan.
Mengapa argumen yang selalu bertentangan tersebut harus terus diuji, karena di dalam diri manusia, tidak terdapat kebenaran, maka dari itu argumen yang anda berikan akan diuji yang sering kali berakhir adu sentimen.
Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan, terutama Perkuliahaan, perlunya diajarkan megenai Argumentasi.Â
Pendidikan tumbuh karena argumentasi, oleh karena itu, sentimentasi perlu dihindarkan untuk mencapai suatu pembenaran, sebab bagaimanapun, kebenaran itu hanya milik yang Diatas, bukan berada yang di Bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H