Mohon tunggu...
Pendidikan

Wujudkan Pemilu Bersih, Tanpa "Money Politic"

30 November 2018   19:22 Diperbarui: 30 November 2018   19:25 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Juni 2018 yang lalu, sebagian rakyat Indonesia memakai suaranya dalam Pilkada serentak 2018. Pesta demokrasi untuk memilih orang nomor 1 di daerah masing-masing ini disambut rakyat Indonesia dengan antusias. Banyak cara yang dipakai oleh para pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menarik hati rakyat untuk memilih mereka. Tapi, apakah semua cara yang dipakai benar? Sudah banyak dugaan praktik kampanye yang salah. Salah satu praktik tersebut adalah Money Politic.

Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang dapat berupa barang maupun uang. Politik uang biasanya dilakukan oleh para simpatisan atau bahkan pengurus suatu partai politik. 

Dalam praktiknya, politik uang biasanya memakai sembako untuk dibagi -- bagikan kepada warga yang membutuhkan dan bertujuan untuk menarik simpati warga supaya memilih partai yang bersangkutan.

Dasar Hukum untuk Politik Uang adalah Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:

"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."

Lalu bagaimana awal dari politik uang atau money politic ini? Menurut penelitian Warner Muntinghe, seorang Ilmuwan Belanda, pada tahun 1817 sistem di Indonesia adalah sistem desa -- desa dan dikepalai oleh kepala desa. Pada masa itu, kepala desa dipilih secara turun temurun. Pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sistem ini diubah. 

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Indische Staatsregering yang berisi tentang sistem baru yaitu desa terlibat penuh dalam pemilihan kepala desa. Pada masa itu, pecah Perang Diponegoro. 

Diponegoro masuk ke desa untuk merekrut warga menjadi prajurit. Tapi Belanda, menyuruh Asisten Wedana (Camat) untuk ikut campur dalam pemilihan Lurah. Sehingga calon -- calon lurah adalah warga yang mendukung Belanda. Oleh karena itu, Belanda memberikan hadiah supaya warga memilih calon -- calon dari Belanda. Nah, dari saat inilah, Politik Uang terjadi.

Bawaslu mengatakan bahwa terdapat 35 kasus politik uang pada saat hari tenang Pilkada Serentak 2018 tanggal 24 -- 26 Juni 2018. "Data politik uang yang diproses oleh Bawaslu kabupaten atau kota sebanyak 35 kasus," ujar Ratna saat konferensi pers di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (27/6/2018). 

Kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Selatan kemudian disusul Sumatera Utara dan Lampung yakni masing-masing 7 kasus. Jawa Tengah 5 kasus, Sulawesi Barat dan Banten 2 kasus, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah masing-masing satu.

Selain kasus di atas, ada pula kasus politik uang dalam bentuk barang dan jasa. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan bahwa ada 39 kasus deklarasi relawan selama masa tenang, 19 bazar murah, 14 kasus pengobatan gratis, 37 kasus pembagian sembako, 51 pertemuan terbatas pasangan calon.

Mengapa kasus politik uang terus terjadi di Indonesia? Bagaimana cara mencegahnya? Kasus politik uang terus terjadi karena beberapa faktor. Yang pertama, faktor kesejahteraan rakyat. Hidup manusia pasti membutuhkan uang untuk membeli barang -- barang kebutuhan. Tapi, masih banyak rakyat Indonesia yang kurang mampu atau di bawah sejahtera. Mereka pasti membutuhkan uang untuk hidup. Mereka menjadi sasaran empuk dalam Politik Uang. Apalagi jumlah dari rakyat Indonesia yang kurang sejahtera cukup banyak sehingga bisa menaikkan jumlah suara dukungan.

Yang kedua, kualitas pendidikan rakyat Indonesia yang tergolong rendah. Dengan kualitas pendidikan rendah, maka membuat rakyat Indonesia mudah tertipu oleh para relawan yang memberikan uang. Mereka dengan mudah diiming-imingi. Hal ini membuat Politik Uang marak terjadi karena mereka menjadi sasaran empuk bagi para relawan.

Yang Ketiga, peraturan yang kurang maksimal. Banyak kasus Politik Uang yang belum tertangkap oleh pihak Bawaslu dan Polri. Oleh karena itu, Politik Uang terus terjadi karena peraturan yang tidak maksimal dan pengawasan yang kurang ketat.

Bagaimana pencegahannya? Yang paling sering dilakukan adalah patroli yang dilakukan oleh Bawaslu. "Kami lakukan di masa tenang, patroli anti-politik uang. Yang kemarin kami lakukan saat pilkada (pemilihan kepala daerah)," ujar Afifuddin, di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).

Selain itu ada pula cara lain yaitu sosialisasi. Daerah dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) menjadi sorotan Bawaslu. Tercatat ada 177 kabupaten/kota yang rawan politik uang. Bawaslu akan terus berkoordinasi pada daerah untuk menindak para pelaku politik uang.

Cara lain, yaitu dengan peran serta masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan politik uang memiliki dampak yang besar bagi politik uang. "Persoalan politik uang, kami punya pandangan, tidak hanya didekati oleh hukum, tetapi harus dengan pendekatan kultural juga. Artinya kami akan mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama berani mengatakan no money politics," ujar Abhan seusai peluncuran IKP Pilkada Serentak 2018 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (28/11). 

Pendekatan hukum merupakan langkah terakhir bila peran masyarakat tidak berhasil. UU nomor 10 tahun 2016 sudah memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran politik uang.

Lalu apa hukuman bagi para pelaku politik uang? Dalam pasal 187 A UU Pilkada menegaskan bahwa baik pelaku maupun penerima uang akan mendapat hukuman .

Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Ayat (2) menyatakan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Politik uang memang menggiurkan tapi politik uang itu salah. Kita sebagai rakyat Indonesia wajib menolak Politik Uang karena Politik Uang merupakan salah satu penipuan rakyat. Rakyat Indonesia sebisa mungkin ikut membantu Bawaslu dan Polri dalam mencegah Politik Uang. Harapan kita, rakyat Indonesia mampu menolak Politik Uang dan bagi para calon tidak melakukan Politik Uang. Mari bersama -- sama wujudkan Pemilu bersih tanpa Politik Uang untuk Indonesia yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun