"Saya tidak setuju dengan pendapat Anda, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk menyuarakannya."
-- Voltaire (Filusuf Perancis)
Kutipan ini terus terngiang di kepala saya selama sebelum ekskursi ke Pondok Pesantren Al Ittifaq di Bandung. Kutipan ini menunjukkan sebagaimana toleransi itu harus dan bisa diperjuangkan kepada sesama manusia walau berbeda kepercayaan. Bahwa kami sesama manusia harus saling menjaga dan berjuang untuk kebaikan bersama seperti sebagaimana toleransi dijalankan. Sebagai siswa dari sekolah Katolik, saya mendapat kesempatan langka untuk tinggal di pesantren selama tiga hari.
Awalnya, saya merasa ragu. Apa yang akan saya temui? Bagaimana saya akan menyesuaikan diri di lingkungan yang sangat berbeda? Kekhawatiran itu perlahan pudar ketika saya melihat senyum hangat dari para santri yang menyambut saya. Pengalaman ini mengubah cara saya memandang perbedaan dan mengajarkan saya arti toleransi yang sebenarnya.
Di pesantren, saya terlibat dalam berbagai kegiatan seperti berkebun, merawat ternak, dan mengikuti diskusi santai tentang kehidupan sehari-hari. Pada awalnya, semuanya terasa asing. Saya terbiasa dengan lingkungan sekolah yang lebih formal, sedangkan di pesantren, kegiatan berlangsung dengan cara yang lebih sederhana dan santai.
Ketika berkebun, salah satu santri bernama Ahmad dengan sabar menunjukkan saya cara mencangkul yang benar. "Pegang gagangnya lebih kuat, tapi jangan terlalu kaku," katanya. Saya menghargai kesediaannya membantu meskipun kami baru bertemu. Dari situ, saya belajar bahwa compassion bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi orang lain untuk merasa diterima. Ahmad tidak memandang saya sebagai "orang luar," tetapi sebagai teman yang perlu dibantu.
Selain itu, saya melihat bagaimana para santri menyelesaikan tugas mereka dengan penuh dedikasi. Setiap pekerjaan, sekecil apapun, dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mengeluh meskipun pekerjaan yang dilakukan tampak melelahkan. Saya belajar bahwa commitment adalah kunci untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan baik. Jika saya bisa memiliki semangat yang sama dalam kehidupan sehari-hari, saya yakin hasilnya akan lebih maksimal.
Di sela-sela kegiatan, ada momen dimana saya duduk sendirian dan memperhatikan mereka shalat berjamaah. Suasana menjadi tenang, dan hanya terdengar suara lantunan doa. Saya tidak ikut beribadah, tetapi saya merasa dihormati karena keberadaan saya diterima dengan baik.
Keheningan itu memberi saya waktu untuk merenung. Saya teringat bahwa conscience kesadaran untuk membedakan mana yang benar dan salah, tidak hanya berasal dari ajaran agama, tetapi juga dari pengalaman hidup. Saya belajar bahwa menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari menunjukkan kesadaran moral.
Pengalaman ini juga membuat saya merenungkan bagaimana saya dapat lebih baik memahami dan menghormati perbedaan di sekitar saya. Sebelumnya, saya sering menganggap keberagaman sebagai sesuatu yang hanya ada di pelajaran sekolah. Tetapi disini, saya melihat bagaimana keberagaman benar-benar hadir dalam kehidupan nyata, bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai sesuatu yang membentuk kehidupan sehari-hari.
Selain belajar tentang keberagaman, saya juga kagum pada bagaimana pesantren mendidik santri mereka untuk menjadi individu yang mandiri dan kompeten. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga keterampilan hidup seperti bertani, beternak, dan berdagang. Saya melihat bagaimana mereka bisa memadukan teori dan praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ini mengajarkan saya tentang competence. Saya menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal mendapatkan nilai bagus, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia nyata. Para santri menunjukkan bahwa kompetensi adalah kombinasi antara pengetahuan dan keterampilan, yang hanya bisa diperoleh melalui pembelajaran aktif dan kerja keras.