Mohon tunggu...
Daverich Rinaldi
Daverich Rinaldi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Bengong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kunjungan ke Pondok Pesantren, Suatu Jembatan Menuju Persatuan dan Toleransi antar Agama

18 November 2024   14:32 Diperbarui: 18 November 2024   14:34 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Saya tidak setuju dengan pendapat Anda, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk menyuarakannya."
-- Voltaire (Filusuf Perancis)


Kutipan ini terus terngiang di kepala saya selama sebelum ekskursi ke Pondok Pesantren Al Ittifaq di Bandung. Kutipan ini menunjukkan sebagaimana toleransi itu harus dan bisa diperjuangkan kepada sesama manusia walau berbeda kepercayaan. Bahwa kami sesama manusia harus saling menjaga dan berjuang untuk kebaikan bersama seperti sebagaimana toleransi dijalankan. Sebagai siswa dari sekolah Katolik, saya mendapat kesempatan langka untuk tinggal di pesantren selama tiga hari.


Awalnya, saya merasa ragu. Apa yang akan saya temui? Bagaimana saya akan menyesuaikan diri di lingkungan yang sangat berbeda? Kekhawatiran itu perlahan pudar ketika saya melihat senyum hangat dari para santri yang menyambut saya. Pengalaman ini mengubah cara saya memandang perbedaan dan mengajarkan saya arti toleransi yang sebenarnya.


Di pesantren, saya terlibat dalam berbagai kegiatan seperti berkebun, merawat ternak, dan mengikuti diskusi santai tentang kehidupan sehari-hari. Pada awalnya, semuanya terasa asing. Saya terbiasa dengan lingkungan sekolah yang lebih formal, sedangkan di pesantren, kegiatan berlangsung dengan cara yang lebih sederhana dan santai.


Ketika berkebun, salah satu santri bernama Ahmad dengan sabar menunjukkan saya cara mencangkul yang benar. "Pegang gagangnya lebih kuat, tapi jangan terlalu kaku," katanya. Saya menghargai kesediaannya membantu meskipun kami baru bertemu. Dari situ, saya belajar bahwa compassion bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi orang lain untuk merasa diterima. Ahmad tidak memandang saya sebagai "orang luar," tetapi sebagai teman yang perlu dibantu.

Selain itu, saya melihat bagaimana para santri menyelesaikan tugas mereka dengan penuh dedikasi. Setiap pekerjaan, sekecil apapun, dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mengeluh meskipun pekerjaan yang dilakukan tampak melelahkan. Saya belajar bahwa commitment adalah kunci untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan baik. Jika saya bisa memiliki semangat yang sama dalam kehidupan sehari-hari, saya yakin hasilnya akan lebih maksimal.

Di sela-sela kegiatan, ada momen dimana saya duduk sendirian dan memperhatikan mereka shalat berjamaah. Suasana menjadi tenang, dan hanya terdengar suara lantunan doa. Saya tidak ikut beribadah, tetapi saya merasa dihormati karena keberadaan saya diterima dengan baik.


Keheningan itu memberi saya waktu untuk merenung. Saya teringat bahwa conscience kesadaran untuk membedakan mana yang benar dan salah, tidak hanya berasal dari ajaran agama, tetapi juga dari pengalaman hidup. Saya belajar bahwa menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari menunjukkan kesadaran moral.


Pengalaman ini juga membuat saya merenungkan bagaimana saya dapat lebih baik memahami dan menghormati perbedaan di sekitar saya. Sebelumnya, saya sering menganggap keberagaman sebagai sesuatu yang hanya ada di pelajaran sekolah. Tetapi disini, saya melihat bagaimana keberagaman benar-benar hadir dalam kehidupan nyata, bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai sesuatu yang membentuk kehidupan sehari-hari.


Selain belajar tentang keberagaman, saya juga kagum pada bagaimana pesantren mendidik santri mereka untuk menjadi individu yang mandiri dan kompeten. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga keterampilan hidup seperti bertani, beternak, dan berdagang. Saya melihat bagaimana mereka bisa memadukan teori dan praktik dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan ini mengajarkan saya tentang competence. Saya menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal mendapatkan nilai bagus, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia nyata. Para santri menunjukkan bahwa kompetensi adalah kombinasi antara pengetahuan dan keterampilan, yang hanya bisa diperoleh melalui pembelajaran aktif dan kerja keras.


Saya juga melihat bagaimana para santri menunjukkan kepemimpinan (leadership) dalam tindakan sehari-hari. Mereka saling membantu, baik dalam menyelesaikan tugas maupun dalam belajar. Saya menyaksikan salah satu santri membantu temannya yang kesulitan memahami pelajaran. "Pelan-pelan saja, ini sebenarnya gampang kalau kamu ngerti konsepnya," katanya. Sikap ini membuat saya sadar bahwa seorang pemimpin tidak harus selalu berada di depan. Kadang, kepemimpinan muncul dalam bentuk membantu orang lain dengan tulus.


Pengalaman ini membuat saya percaya bahwa toleransi tidak bisa diajarkan hanya melalui teori. Toleransi membutuhkan perjumpaan, interaksi, dan kerja sama. Selama tiga hari di pesantren, saya merasakan bagaimana perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi alasan untuk saling belajar.


Menurut Ki Hajar Dewantara, "Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru." Selama di pesantren, saya belajar bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Jika kita mau membuka diri dan saling menghormati, perbedaan bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kita.


Ekskursi ini bukan hanya tentang mengenal kehidupan pesantren, tetapi juga tentang mengenal diri saya sendiri. Saya belajar bahwa toleransi adalah sikap yang harus dipraktikkan, bukan hanya diucapkan. Ini membutuhkan kesadaran (conscience), kepedulian (compassion), dan komitmen (commitment) untuk menjalani hidup bersama dengan orang lain.

Pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dijaga. Seperti pelangi yang terdiri dari berbagai warna, keberagaman membuat kehidupan lebih indah. Namun, harmoni hanya bisa tercipta jika kita mau membuka hati dan pikiran untuk saling memahami.


 Dikutip dari karya puisi oleh Jalaluddin Rumi, penulis puisi The Lamps Are Different yang berbunyi,
The lamps are different,


but the Light is the same.
One matter, one energy, one Light
sees from different windows.
What we see is one,
though the lamps are many.
The Light in the eye is one,
but it takes different forms.
Do not get lost in the multiplicity of forms;
Truth shines beyond all.


Puisi ini menggambarkan bagaimana agama dan keyakinan mungkin berbeda, seperti pelita dengan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semua menyinari kebenaran yang sama. Pesan ini mengajak kita untuk melampaui perbedaan dan menemukan adanya keindahan dari toleransi dan kebenaran yang universal.


Jika lebih banyak anak muda mendapatkan pengalaman seperti ini, saya yakin masa depan Indonesia akan lebih cerah. Dengan nilai-nilai compassion, conscience, commitment, competence, dan leadership, kita semua dapat berkontribusi pada persatuan dan keharmonisan bangsa.


Mengingat kata kata Gusdur, "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Selama kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu." Toleransi bukan hanya mimpi. Dengan tindakan sederhana, seperti mendengarkan, menghormati, dan membantu orang lain, kita dapat menjadikan toleransi dan seluruh nilai-nilainya sebagai suatu hal yang faktual dan universal diterapkan semua kalangan masyarakat tanpa adanya batasan batasan seperti agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun