Toko kain di sebelah kantorku yang merupakan bank di kawasan Kebayoran Lama itu kecil saja namun isinya komplit. Dari kain untuk busana perempuan, seragam anak hingga celana untuk lelaki tersedia di sana. Demikian juga aneka kain gorden dari yang sederhana hingga gorden ala kerajaan Eropa ada di sana. Toko itu menyediakan jasa menjahitkan gorden juga.
Menjelang Ramadan kala  itu sedang model kain setelan untuk kebaya ala pramugari Singapore Airlines namun bukan dengan motif batik printing. Kain jumputan berwarna cerah dengan kombinasi warna-warni nan cantik masih disanding selendang motif sejenis namun dengan jenis bahan tipis tembus pandang. Membayangkan Ibu memakai kebaya dan kain bawahannya berbalut selendang senada sungguh anggun. Jadi kubeli sepaket dan sorenya sepulang kantor segera kuberikan pada Ibu, Sayangnya Ibu menolak,
"Haduuuh ini kain mahal, Nduk. Ibu gak mau ah. Kamu jangan belikan Ibu barang-barang mahal seperti ini."
Ibu selalu begitu. Menolak pemberian anak-anaknya yang bukan kebutuhan primer. Baginya cukuplah anak-anak memberikan tunjangan bulanan demi memutar roda rumah tangga. Aku tak putus asa, berkali-kali kupaksa namun Ibu tetap tidak mau. Hingga akhirnya Ramadan tiba, jadilah kain tersebut kujahitkan untuk diri sendiri. Penjahitnya tinggal dekat toko kain dan sebenarnya bekerja di workshop Itang Yunaz yang juga terletak di Kebayoran Lama. Menunggu giliran cukup  lama, akhirnya  jadilah kebaya dengan rok bawah panjang bak kain lilit busana tradisional, siap dikenakan saat silaturahmi Iedul Fitri. Ketika kucoba di rumah, Ibu yang melihatnya langsung berkata,Â
"Woow ternyata cantik sekali, Ibu mau deh."
"Ibuuu, sekarang sudah telat. Kainnya habis, kalaupun ada penjahitnya sudah kebanyakan order."Jelasku sembari memeluknya.
Momen itu jadi semacam pemahaman jika Ibu menolak belum tentu berarti tidak mau. Peristiwa semacam tidak hanya kualami, adik-adikpun mengalaminya. Akhirnya kami memberikan penjelasan ke Ibu untuk selalu menerima pemberian anak-anaknya karena saat kami memberi pasti karena ada dana lebih dan pemberian kami sebagai tanda rasa sayang padanya.
Qodarullah.....
Adik-adik juga diberi kelapangan rezeki jadi hadiah silih berganti diberikan pada ibu. Dari kain, kalung emas, penggantian pelapis kursi tamu yang bikin mata Ibu berkaca-kaca. Hingga uang tunai yang penggunaannyapun, ibu masih minta izin,
"Boleh buat reproduksi foto Ibu dan Bapak di King Foto gak?"
"Yah, bolehlah. Terserah Ibu."
Begitu foto selesai, ibu sangat bangga melihatnya. Beberapa kali dia memandangi seorang diri bersama kekasihnya ( bapakku yang sudah tahunan meninggal dunia). Kami (anak-anaknya) begitu menyayanginya karena mengetahui beratnya beban membesarkan 5 anak yang masih di bangku kuliah dan sekolah. Ketika bapak meninggal, dia masih dalam status eselon 3 suatu kementerian. Ibu yang sekedar IRT limbung ditinggal Bapak, Ibu tak pernah bekerja sebelumnya.Â
Selama setahun sejak kepergian abadinya, kami hanya hidup dari tabungan dan uang santunan asuransi yang besarnya tak seberapa. Â Ke kanan kiri Ibu meminta tolong pada orang-orang yang menjanjikan bantuan,
"Jika perlu bantuan apapun, mintalah. Kami akan melakukan apapun." Demikian ujar seorang temannya yang berkedudukan. Nyatanya itu hanya sekedar lip service, ketika ibu mendatanginya, ia mengangkat kedua bahu serta tangannya. Begitu saja.
Hingga akhirnya kabar ibu sampai ke telinga Bapak Menteri Hartarto yang segera memanggil dan memberikan surat sakti. Ibu disaluran di anak perusahaan pupuk XX yang memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Bukan itu saja, para isteri pejabat segera berdonasi melalui Persatuan Isteri Insinyur Indonesia perwakilan Jakarta untuk memberikan beasiswa pada salah satu anaknya. Demikianlah kami bergiliran menerima beasiswa tersebut, begitu kakak menamatkan kuliah, giliranku mendapat beasiswa. Begitu aku menamatkan kuliah, adikku mendapat beasiswa. Demikian paling tidak hingga 3 anak mendapat giliran beasiswa.
Tiap pagi kami berjalan bersama menuju halte bis. Namun aku dan kakak harus menyeberang karena kuliah di Rawamangun sementara kantor Ibu berada di kawasan Tendean, Mampang. Ibu lebih sering memilih untuk jalan kaki ke kantornya, bayangkan dari Pancoran ke Tendean cukup jauh. Titik airmataku tiap melihat bayang-bayang Ibu.
Makanya kami tak pernah minta macam-macam ke Ibu, Saat liburan tiba, teman-teman acapkali pergi berlibur bersama, kami selalu tinggal di rumah karena tidak ingin menambah beban Ibu.
Pas lulus kuliah, segera mencari pekerjaan. Rasanya lega sekali saat bisa memberikan sebagian dari gaji untuk keperluan rumah tangga. Makin lama, pekerjaan makin bagus. Dan yang tadinya hanya menerima 12 bulan gaji, bisa menerima 13-15 kali gaji. Ya, pastinya Ibu selalu kebagian. Rasanya anak-anaknya selalu ingin menyenangkan hati Ibu.
Kalau tadinya kado berupa benda-benda, sekarang jadi meningkat dalam bentuk paket-paket perjalanan setelah menyadari Ibu ternyata senang traveling bersama-sama teman seumuran. Ibu tidak menolak saat diberi paket liburan sendiri ke Jogja -- kampung halamannya. Jangan dikira dia sekedar bermalas-malasan di sana. Dia bernostalgia dengan mengunjungi sekolahnya yang Tarakanita dan Stella Duce. Belum cukup begitu, ia juga mengunjungi asrama susteran dan bertemu para pengajarnya yang ternyata masih mengingatnya.
Usai berkeliling Jogja, dia mengunjungi teman-temannya yang sudah pensiun dan pulang kampung dan tidak main-main lho, kampungnya di Madiun. Yap, ibu naik bus antar kota ke Madiun. Makanya pas Ibu meninggal, temannya itu langsung terbang ke Jakarta. Dan berteriak histeris sejak saat memasuki pagar rumah. Begitulah persahabatan mereka.
Aku rasa puncak perjalanan Ibu adalah saat adik mengajaknya beribadah Haji.
Namun tak pernah kuduga bahwa keputusanku untuk melanjutkan kuliah S2 di UI dengan biaya sendiri itu bikin bangga Ibu. Itupun tak sengaja mendengarnya saat menjemput di tempat arisan, manakala teman-temannya sibuk memamerkan anak-anak mereka yang sedang kuliah di luar negeri, Ibu cukup berkata,
"Aku tidak punya dana lebih untuk mengirimkan anak kuliah ke Amerika. Anakku membayar sendiri kuliah MM nya di UI. Hanya lokal."
Teman-temannya terdiam, aku tercekat dan airmata nyaris menetes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H