"Yah, bolehlah. Terserah Ibu."
Begitu foto selesai, ibu sangat bangga melihatnya. Beberapa kali dia memandangi seorang diri bersama kekasihnya ( bapakku yang sudah tahunan meninggal dunia). Kami (anak-anaknya) begitu menyayanginya karena mengetahui beratnya beban membesarkan 5 anak yang masih di bangku kuliah dan sekolah. Ketika bapak meninggal, dia masih dalam status eselon 3 suatu kementerian. Ibu yang sekedar IRT limbung ditinggal Bapak, Ibu tak pernah bekerja sebelumnya.Â
Selama setahun sejak kepergian abadinya, kami hanya hidup dari tabungan dan uang santunan asuransi yang besarnya tak seberapa. Â Ke kanan kiri Ibu meminta tolong pada orang-orang yang menjanjikan bantuan,
"Jika perlu bantuan apapun, mintalah. Kami akan melakukan apapun." Demikian ujar seorang temannya yang berkedudukan. Nyatanya itu hanya sekedar lip service, ketika ibu mendatanginya, ia mengangkat kedua bahu serta tangannya. Begitu saja.
Hingga akhirnya kabar ibu sampai ke telinga Bapak Menteri Hartarto yang segera memanggil dan memberikan surat sakti. Ibu disaluran di anak perusahaan pupuk XX yang memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Bukan itu saja, para isteri pejabat segera berdonasi melalui Persatuan Isteri Insinyur Indonesia perwakilan Jakarta untuk memberikan beasiswa pada salah satu anaknya. Demikianlah kami bergiliran menerima beasiswa tersebut, begitu kakak menamatkan kuliah, giliranku mendapat beasiswa. Begitu aku menamatkan kuliah, adikku mendapat beasiswa. Demikian paling tidak hingga 3 anak mendapat giliran beasiswa.
Tiap pagi kami berjalan bersama menuju halte bis. Namun aku dan kakak harus menyeberang karena kuliah di Rawamangun sementara kantor Ibu berada di kawasan Tendean, Mampang. Ibu lebih sering memilih untuk jalan kaki ke kantornya, bayangkan dari Pancoran ke Tendean cukup jauh. Titik airmataku tiap melihat bayang-bayang Ibu.
Makanya kami tak pernah minta macam-macam ke Ibu, Saat liburan tiba, teman-teman acapkali pergi berlibur bersama, kami selalu tinggal di rumah karena tidak ingin menambah beban Ibu.
Pas lulus kuliah, segera mencari pekerjaan. Rasanya lega sekali saat bisa memberikan sebagian dari gaji untuk keperluan rumah tangga. Makin lama, pekerjaan makin bagus. Dan yang tadinya hanya menerima 12 bulan gaji, bisa menerima 13-15 kali gaji. Ya, pastinya Ibu selalu kebagian. Rasanya anak-anaknya selalu ingin menyenangkan hati Ibu.
Kalau tadinya kado berupa benda-benda, sekarang jadi meningkat dalam bentuk paket-paket perjalanan setelah menyadari Ibu ternyata senang traveling bersama-sama teman seumuran. Ibu tidak menolak saat diberi paket liburan sendiri ke Jogja -- kampung halamannya. Jangan dikira dia sekedar bermalas-malasan di sana. Dia bernostalgia dengan mengunjungi sekolahnya yang Tarakanita dan Stella Duce. Belum cukup begitu, ia juga mengunjungi asrama susteran dan bertemu para pengajarnya yang ternyata masih mengingatnya.
Usai berkeliling Jogja, dia mengunjungi teman-temannya yang sudah pensiun dan pulang kampung dan tidak main-main lho, kampungnya di Madiun. Yap, ibu naik bus antar kota ke Madiun. Makanya pas Ibu meninggal, temannya itu langsung terbang ke Jakarta. Dan berteriak histeris sejak saat memasuki pagar rumah. Begitulah persahabatan mereka.