Suara coach yang lantang diselingi pertanyaan sahut menyahut dari 25 peserta terdengar dari dapur rumahku sepanjang hari. Tentunya bukan kehadiran nyata karena dapur takkan mampu menampung lebih dari 6 orang, ini kehadiran virtual melalui aplikasi zoom yang terpampang di Hp adik sebagai salah satu perserta training usaha kuliner online yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI dengan dukungan finansial dari Pemerintah Pusat. Dan training ini diselenggarakan untuk mendukung usaha UMKM menghadapi masa pandemik.
25 orang pilihan ini  belajar memasak 4 menu/hari selama 4 hari yang layak untuk dibisniskan nantinya. Saya katakan sebagai orang pilihan karena 1 kecamatan hanya diwakili oleh 1 peserta yang sudah lulus dari  kursus usaha kuliner berlabel halal yang  diselenggarakan oleh Pemprov DKI beberapa bulan sebelumnya.
Pada kursus tahap halal ini Pemprov DKI menyelenggarakannya secara mandiri (APBD) bertahap untuk 1000 peserta. Dalam kursus ini selain belajar membuat beberapa masakan, peserta akhirnya diarahkan untuk membuat satu hidangan unggulan yang akan dibisniskan serta diberi label halal dari MUI.Â
Ini kesempatan yang luar biasa karena untuk mendapatkan label halal dari MUI perlu biaya sebesar Rp. 3 juta per 1 peserta. Biaya pensertifikatan ini aslinya Rp. 5 juta namun mengingat Pemprov DKI memesan 1000 pensertifikatan, tampaknya Pemprov DKI dapat diskon. Sedangkan prosedure untuk mendapatkan meraih label halal ini cukup berliku.
Tahap awalnya kandidat harus mengajukan menu serta resep/ alur produksi beserta bahan baku yang dipergunakan, yang semuanya harus memiliki label halal paling tidak dari MUI (kecuali barang impor bisa memakai label halal dari negara asal barang).Â
Ternyata cukup sulit mendapatkan bahan baku berlabel halal itu, seperti adik saya yang awalnya akan mengajukan menu Lasagna, akhirnya harus menunda keinginan karena ternyata daging yang beredar di pasaran lebih banyak yang belum memiliki label halal. Akhirnya adik saya mengajukan menu brownies sebab semua bahan baku yang dipakai sudah berlabel halal.Â
Selain itu penguji dari MUI juga menyampaikan syarat untuk tempat pengolahan hidangan (dapur dan sekitarnya). Tak boleh memelihara anjing bahkan hewan-hewan lain seperti kucing demi menjaga higienitas hidangan. Untuk yang beragama non muslim boleh mengajukan permohonan pensertifikatan dengan syarat lebih ketat lagi, yakni peralatan masak harus terpisah dengan peralatan masak sehari-hari.
Semua komunikasi masih dilakukan secara online hingga akhirnya kandidat dianggap sudah memenuhi syarat, barulah diagendakan kunjungan langsung.Â
Dua orang dari MUI datang sesuai waktu yang disepakati, segala persyaratan dokumen diperiksa dengan teliti hingga akhirnya sampai pada pemeriksaan bahan baku. Dilanjutkan dengan pengawasan proses pembuatan masakan.Â
Setelah masakan matang dan dicicipi, para penguji menyampaikan salinan laporan tinjauan seraya menyampaikan bahwa jika adik lulus seleksi akan diminta mengirim masakan itu ke kantor MUI untuk dinilai para kiyai pengurus pusat MUI.
Demikianlah setelah menjalani proses di atas, akhirnya adik mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Yang membuatnya percaya diri untuk berjualan brownies. Brownies kekinian yang laris manis bahkan menimbulkan ide dari salah satu customernya untuk membuat dagangan cake in the jar seperti di bawah.