Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup di Wilayah Epicentrum Covid-19

27 April 2020   09:03 Diperbarui: 27 April 2020   14:06 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pas hari ke 4  PPSB di DKI, sudah muncul keluhan, "kok masih ramai? Kok masih pada berkeliaran?"

Saya masih berpikir positif "Oh ya?"

Karena wilayah tempat tinggal saya cukup tertib menjalankan PPSB.

Ah tapi Jakarta kan luas. Mungkin kawasan-kawasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang demikian, berani sedikit menyimpulkan mengingat jumlah penderita Covid-19 terbanyak di DKI ada di daerah itu. 

Namun manakala seorang teman yang sama-sama tinggal di Jakarta Selatan dalam wilayah yang sama, hanya beda letak -saya di Utara, dia di Selatan mengeluhkan kondisi pasar tradisional yang tutup di wilayahnya serta masih berkeliarannya orang-orang di daerah rumahnya.

 Belum lagi melihat kondisi pasar ikan di Jatinegara yang begitu ramai dengan pembeli maupun penjual yang tidak memakai masker dan menjaga jarak membuat saya jadi ingin berbagi kondisi di kawasan tempat tinggal.

Tanggal 17 Maret, saya  (warga RT 08) mendengar kabar dari warga RT 07 yang kebetulan wartawan bahwa bpk DJ yang warga RT 09 terkena Covid-19.

Saya: "Kok tahu, Mas?"

Dia: "Iya, pas saya lihat list nama-nama para korban kok ada nama Pak Dj -- tetangga kita. Masalahnya tuh kami bertemu saat shalat Jumat, minggu lalu di masjid. Dan kami bersalaman usai shalat. Waktu itu saya heran kok dia pakai masker secara kan gak ada keharusan dari Pemerintah. Eh pas baca namanya ada dalam list terkonfirmasi Covid-19, saya langsung panik."

Kami berdialognya melalui WA jadi tidak ada efek multilevel dari Covid-19, mas wartawan berinisiatif memeriksakan diri ke RS. Untung dia baik-baik saja. 

Saya segera menyampaikan informasi ini ke pak RT tanpa membuka identitas warga baik yang terkonfirmasi maupun sumbernya. Namun pak RT cukup percaya hingga dia mengistirahatkan kegiatan senam pagi warga di jalanan yang seminggu tiga kali.

dokpri
dokpri
Tak lama setelah itu ada warga lain yang terkonfirmasi Covid-19 juga. Tanpa menanti lagi, pihak RW dan RT berkordinasi untuk melakukan penyemprotan disenfektan di seluruh rumah warga, berhubung ini inisiatif sendiri maka biaya ditanggung bersama. 

Saya puas dengan pelaksanaannya karena petugas menyemprot seluruh permukaan yang ada di dalam maupun luar rumah.

Kedua warga terkonfirmasi Covid-19 sendiri dirawat di RS, keduanya merupakan orang-orang dengan posisi ekonomi serta professional berada di top of the top, yang satu malah dinas di Korea Selatan dan dua bulan sekali dapat jatah menjenguk keluarga di Indonesia.

dokpri
dokpri
Tak lama setelah itu Pasar Kaget yang sekitar 500 m dari kompleks kami juga melakukan penyemprotan desinfektan. Sempat kudengar seorang ibu yang mukim dekat pasar itu sibuk mengemukakan pendapatnya yang tidak setuju dengan pemakaian masker sembari menjebikkan bibirnya, "Kalau mau mati ya mati aja. Maut itu ditangan Allah."

Tak lama setelah penertiban pasar kaget, Anies Baswedan mengumumkan penetapan DKI Jakarta dalam PPSB (Pembatasan Sosial Berkala Besar). Daerah kami mengambil langkah yang lebih serius dalam physical distancing. Tiap RT membatasi wilayahnya, segala portal diturunkan,

"Maaf hanya penghuni RT sini atau orang yang berkepentingan dengan penghuni yang dapat memasuki kawasan ini."

Kenapa ada penambahan kata "orang yang berkepentingan dengan penghuni yang dapat memasuki kawasan ini." Tak lain disebabkan banyak warga RT tersebut yang mata pencahariannya adalah berdagang. 

Jadi jika kawasan itu benar-benar tertutup, bagaimana warganya bisa mendapatkan penghasilan. 

Hal baik yang terjadi adalah bermunculannya fasilitas cuci tangan lengkap dengan sabun cairnya. Lantas saya jadi demen cuci tangan dalam perjalanan pulang dari pasar kaget. 

Yup, saya bisa cuci tangan di tiap tempat yang menyediakan fasilitas cuci tangan saat jalan pagi atau jalan sore. Haah, masih keluar rumah juga? Tenang teman, jalan-jalan yang saya lalui relatif lengang, lagipula konon virus Covid-19 lebih terbatas kemampuan geraknya di udara terbuka.

Nah Pasar Kaget juga makin berbenah sejak PPSB diberlakukan, area perumahan sekitar pasar memasang portal, untung saya masih bisa lewat karena warga di sana sudah biasa melihat saya. 

Pasarnya sendiri menerapkan jam buka yang lebih terbatas, dari pk.06 -- pk.10 pagi. Pintu masuk dibedakan dengan pintu keluar dan tersedia fasilitas cuci tangan di pintu masuk. 

Ada petugas kelurahan lengkap dengan TOA menjaga pintu masuk, selain menjaga agar pengunjung pasar memakai masker, juga menegur orang-orang yang mau keluar lewat pintu masuk, "Gak ada tanggung-tanggung." Demikian dia mengusir mereka. Pasar kaget di wilayah tetangga sudah ditutup karena warganya tidak bisa ditertibkan.

Dalam perjalanan pulang dari pasar, saya bisa mencuci tangan hingga dua kali di tempat yang berbeda. Sampai rumah saya segera mandi dan berganti baju.

dokpri
dokpri
Selain pasar, tempat essential yang saya kunjungi adalah tempat berobat. Seharusnya saya kontrol bulanan ke internist di RS dimana biasanya saya mendapat jatah obat bulanan, namun petunjuk dari IDI supaya menahan diri ke internist selama masa physical distancing Covid-19 kecuali kaki saya bolong (biasa dialami orang diabetes) membuat saya ke fasilitas kesehatan di bawahnya yakni Puskesmas.

Alangkah terkejutnya saya melihat penerapan SOP Puskesmas yang sangat luar biasa. Tak seperti biasa, kali ini kami tidak diperbolehkan memasuki bangunan puskesmas. Ada satpam yang menerima dan memasukkan kartu kami ke dalam. 

Di depan pintu masuk ada hand sanitizer dan fasilitas cuci tangan yang lengkap dengan wastafel stainless steel. Kami dipersilahkan menunggu di pelataran parkir yang ditutupi dengan canopy hingga tidak panas, lagipula banyak tanaman di sana sehingga udara sejuk. 

Untuk dudukpun diatur selang satu isi satu kosong. Para pasien yang menunggu cukup disiplin hingga mereka mengingatkan seorang perempuan muda yang meletakkan masker di bawah dagunya untuk memasang maskernya dengan benar.

Saat giliran saya masuk ke bangunan puskesmas, harus melalui loket pendaftaran dulu dimana para petugas memakai masker dan jendela loket ditutupi dengan plastik. 

Dari situ saya ke ruang pemeriksaan untuk ditimbang serta diperiksa suhu tubuh dan tensi. Petugasnya memakai baju APD lengkap dengan masker. 

Setelah itu, menunggu giliran untuk bertemu dengan dokter, Ketika tiba giliran, dokter juga melindungi diri dengan memakai pakai dinas tangan panjang lengkap dengan sarung tangan karet serta face shield. Laptopnya pun terbungkus plastik. 

Percakapan berlangsung cukup lama karena dokter sangat teliti hingga akhirnya dia menuliskan resep di laptop yang terkoneksi dengan apotik di dalam puskesmas.

Hingga saat saya ke apotik itu, petugas farmasi sudah menyiapkan obat untuk jatah 1 bulan. Loket apotik juga ditutupi dengan tirai plastik agar tidak terjadi kontak langsung.

dokpri
dokpri
Terus terang pengalaman di Pasar dan Puskesmas menenangkan saya karena protokol physical distancing benar-benar diterapkan. Seandainya semua wilayah di Jakarta menerapkan protokol demikian, maka resiko tertular virus Covid-19 bisa diminimalisir.

Sayangnya tidak semua penguasa wilayah menerapkan protocol demikian karena terkendala beberapa hal misalnya:

Wilayah binaannya merupakan kampung padat seperti yang terjadi di gang sayur yang nempel dengan kompleks perumahan saya. Perumahan sangat padat dengan rumah yang rerata berupa rumah petak dengan lebar 2 meter, beberapa rumah dibuat 2 lantai. 

Gang yang membelah hanya selebar 1 meter jadi bisa kebayang sumpeknya. Saya bisa mengerti jika mereka tak tahan tinggal di dalam rumah seharian. 

Kemarin ada liputan TV di kelurahan Karang Anyar, Jakarta. Satu rumah malah dihuni oleh 3 KK dengan total penghuni 14 orang menempati rumah seluas 15 m2.

Wilayah perkantoran mungkin akan sedikit menyulitkan untuk inspeksinya. Walaupun saya lihat Pemprov DKI sudah menutup beberapa kantor dan toko. Namun inspeksi harus dilakukan secara berkelanjutan.

Masih dioperasikannya berbagai alat transportasi umum yang membuat orang-orang bukan warga Jakarta memasuki wilayah Jakarta.

Ada lagi penyebab Covid-19 begitu merajalela di Jakarta. Tunggu pada seri II tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun