Jika defisit dibiayai melalui pinjaman maka dapat dikatakan itu lebih buruk lagi. Karena dengan melakukan pinjaman akan menyebabkan unsustainable pada jangka panjang dan Negara tersebut dapat terjebak dalam pembayaran bunga hutang yang tinggi. Negara dengan pembayaran bunga hutang yang tinggi hanya menyisakan sedikit saja anggaran yang digunakan untuk investasi atau pembangunan.
Beberapa upaya yang dilakukan seperti pemberlakuan B-20 ( BBM dicampur 20% minyak kelapa sawit ) kelihatannya tidak dilaksanakan dengan konsisten. Seandainya Pertamina melaksanakan dengan konsisten, paling tidak bisa menurunkan 20% angka impor.
Pengenaan tarif masuk atas sejumlah barang harusnya lebih dicermati, semisal dengan masuknya secara besar-besaran baja dari China tidak dikenakan tarif, padahal China melakukan dumping. C'mon bu Sri, moso kita sebagai pengutang tak bisa mengatur sedikit saja Negara pemberi utang. Kita akan bayar bunga dan bayar pokok lho.
Kabar baiknya....
Kabar baik dari negara-negara tetangga, hanya Indonesia yang terpuruk di kawasan ASEAN dengan nilai defisit transaksi berjalan  kuartal I 2019 sebesar US$7 miliar. Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut yaitu US$2,6 miliar, US$6 miliar, US$1,7 miliar, dan US$17,6 miliar.
Dahlan Iskan mencatat; Â ekspor Vietnam naik 28 persen. Investasi yang masuk naik hampir 10 persen. Sudah lebih satu minggu saya di Vietnam. Dari satu daerah ke daerah lain. Sudah enam daerah saya jelajah. Secara umum, Vietnam masih jauh ketinggalan dari kita. Masih seperti Indonesia di tahun 1990-an. Tapi berubahannya memang sangat cepat.
Kamboja juga tumbuh sangat cepat. Meski keadaannya masih seperti Indonesia tahun 1980-an. Saya alami jalan-jalan di Phnom Pehn sangat padat. Mobil-mobil umumnya relatif baru. Tidak terlihat mobil jelek apalagi reot. Kelas mobilnya juga menengah ke atas.
Saya tidak melihat satu pun mobil kelas Avansa atau Xenia. Kelihatannya paling rendah cc 1500. Begitu dominan Lexus di Phnom Penh.