Lebih jauh lagi Arccandra menerangkan mengenai harga impor BBM yang naik. Ini tak lepas dari situasi memanas antara Amerika yang melarang negara-negara lain berhubungan dagang dengan Iran dan Iran tak kalah garang dengan menggertak nuklir di selat Hormuz.Â
Hal ini  menimbulkan ketegangan mengingat 40% minyak dunia lewat teluk tersebut. Akibatnya membuat harga crude mulai bergerak naik. Kalau minyak mentah naik kearah 80 dolar perbarel saja maka Indonesia terpaksa menaikan harga bahan bakar dan menaikan tariff listrik. Ini memberatkan perekonomian rakyat setelah Pemerintah tidak ada kemampuan menurunkan tariff transportasi udara.
Â
Defisit Non Migas
Sudah performance di sektor migas babak belur, ternyata di sektor non migas juga tampil menyedihkan. Berikut 10 top barang impor:
1. Mesin peralatan listrik US$ 1,65 miliar
2. Plastik dan barang dari plastik US$ 757,7 juta
3. Serealia US$ 293,7 juta
4. Pupuk US$ 194,5 juta
5. Bubur kayu US$ 136,7 juta
6. Gula dan kembang gula US$ 161,1 juta
7. Filamen buatan US$ 163,7 juta
8. Garam, belerang, kapur US$ 71,2 juta
9. Kapal laut dan bangunan terapung US$ 104,8 juta
10. Kendaraan bermotor atau komponen US$ 45,8 juta
Selain top 10 di atas, angka yang juga tinggi adalah barang-barang konsumsi semacam daging, apel dan peer, serta running shoes. Impor bulan April naik secara 24.12% (mtom). Kenaikan tertinggi juga terjadi dalam impor daging beku dari India dan AS.
Jika melihat angka-angka di atas, ternyata pernyataan Sri Mulyani tidak salah. Persiapan Lebaran baik impor di sektor migas dan non migas jadi biang kerok defisit transaksi berjalan bulan April. Tapi bagaimana dengan kenaikan defisit sebelum bulan April? Apa penyebabnya?
Mampukah Menangani Defisit?