Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Jadetabek Memang Perlu LRT

20 Februari 2019   21:00 Diperbarui: 20 Februari 2019   21:15 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang LRT

Mengikuti diskusi mengenai LRT di Jabodebek dan Palembang pada 13 Februari 2019 lalu membuat saya mencermati kembali asal muasal dari kehadiran LRT di Indonesia.

Lahirnya proyek LRT ternyata disebabkan  Proyek Monorel Jakarta  tersendat, sebab Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak menyetujui permintaan yang diajukan oleh PT Jakarta Monorail untuk membangun depo di atas Waduk Setiabudi, Jakarta Selatan dan Tanah Abang. Penolakan Ahok ini didasarkan hasil kajian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menyatakan bahwa jika depo dibangun di atas Waduk Setiabudi, dikhawatirkan akan mengulang kembali kisah jebolnya tanggul Latuharhari kembali.

Ahok menyampaikan gagasan mengenai Light Rail Transit (LRT) yang lebih baik dibandingkan Monorel ini kepada Jokowi yang lantas menerbitkan Perpres mengenai LRT ini sejak 2015 dan telah mengalami penyempurnaan di tahun 2016 serta 2017. Dengan adanya legal standing ini maka Adhi Karya yang semula berniat membangun jalur monorel Cibubur-Cawang-Grogol dan Bekasi-Cawang, mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo untuk mengubah konsep monorel menjadi LRT juga. Adapun alasan dibangunnya LRT karena lebih mudah terintegrasi dengan moda transportasi lainnya (MRT dan KRL) dibandingkan dengan monorel yang populasinya sedikit karena teknologinya tertutup.

Ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 membuat Pemerintah memutuskan untuk memulai proyek LRT ini di Palembang agar bisa dipergunakan para peserta/ utusan Asian Games serta warga Palembang. Setelah Asian Games usai, LRT ternyata sepi peminat. Gubernur Sumsel dengan tegas menolak untuk menanggung kerugian operasional yang timbul tiap bulan dan melemparkan beban kerugian ini kembali ke Pemerintah Pusat. Memang biaya operasional LRT per bulan yang mencapai Rp. 10 miliar tidak sebanding dengan pendapatannya yang hanya Rp. 1.1 miliar per bulan. Jadi kerugian/ bulannya mencapai Rp. 8.9 Miliar. JK mengatakan LRT memang tidak sesuai diterapkan di Palembang yang penduduknya hanya 1.5 juta orang

Lantas apa kabarnya dengan LRT di Jabodebek?

dokpri
dokpri
Jakarta dengan jumlah penduduk 10.5 juta mencakup wilayah seluas 661 km2, nyaris sama besarnya dengan Negara Singapura. Jakarta menjadi pusat mencari nafkah bagi penduduk yang tinggal di wilayah sekeliling Jakarta seperti Depok, Tangerang dan Bekasi. Jakarta menjadi begitu ramai dan padat di hari-hari kerja, coba bandingkan dengan Jakarta yang lebih senyap saat weekend seperti Sabtu dan Minggu.

Adanya berbagai moda transportasi yang tersedia ternyata belum juga menyerap keperluan para warga yang beraktifitas di Jakarta. Hingga kita bisa lihat betapa commuter line dan busway dipadati penumpang saat peak hour. Padahal Pemprov DKI sudah menambah armada busway bahkan juga rute. PT KAI-pun sudah memperbarui serta menambah gerbong namun penumpang tetap padat. Karenanya pemilik kendaraan lebih memilih untuk mengendarai mobilnya dibandingkan menumpang kendaraan umum. Pengaturan nomor kendaraan ganjil genap hanya efektif beberapa bulan saja, selanjutnya Jakarta kembali macet. Kemacetan makin parah dengan maraknya penggunaan sepeda motor, baik secara pribadi maupun dikomersialkan sebagai ojek online.

LRT menjadi alternatif moda transportasi yang lebih nyaman dan cepat dengan potensi penumpang 500,000 orang/ jam saat peak hour. LRT bisa dioperasikan tanpa masinis. Dengan investasi Rp. 29 Triliun, potensi kerugian ekonomi di Jakarta akibat kemacetan mencapai Rp. 65 Triliun/ tahun.Bisa diminimalisir. Betapa dahsyat potensi kerugian yang bisa dihilangkan, dalam hitungan ekonomi dalam setahun harusnya LRT sudah Break Even Point (BEP). 

dokpri
dokpri
Sekarang tinggal bagaimana bisa menggerakan masyarakat untuk mempergunakan LRT nantinya. Masih ada waktu sekitar 2 tahun sebelum April 2021 (rencana peluncuran LRT Jabdebek).

Beberapa keberatan yang sudah mulai terdengar adalah masalah biaya (ongkos)nya yang sebesar Rp. 12 ribu. Ongkos sebesar itu dianggap hampir sama dengan ongkos ojek online,  Padahal ojek online sampai tempat tujuan. Pengamat transportasi mengingatkan bahwa mencapai LRT dari stasiunpun juga bisa menjadi kendala bagi orang-orang dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Jangankan yang cacat, yang bertubuh sempurna tapi sedang tak sehat maupun sudah tua juga bisa mengalami kesulitan. Memang saya sendiri yang tidak biasa naik commuter online saja jadi ngos-ngosan menaiki maupun menuruni anak tangga yang curam di stasiun KA. Hal ini kiranya perlu dipikirkan oleh Penyelanggara.

Di Jakarta, saya optimis akan market yang bisa diserap sebab penduduk Jabodebek yang bekerja di Jakarta sangat tinggi dengan daya beli yang cukup tinggi. Mereka pasti tidak keberatan dengan harga yang notabene sebenarnya masih disubsidi ( sebab harga tiket seharusnya Rp. 30 ribu ), merekap pasti tidak keberatan membeli kenyamanan dan kecepatan.

Go LRT Jabodebek....Go LRT Jabodebek

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun