Sudah tiga hari seorang teman mendiamkan saya padahal biasanya tiap hari kami selalu saling menyapa via WA. Karena saya tidak ingin berlarut-larut maka akhirnya saya kirim video buatan sendiri dengan nyanyian:
"Ingin marah? Silahkan,
Ingin ngambek? Silahkan,
Asal jangan kau habiskan nasiku....Oooo Ye.
Aku sabar menanti, sampai marahmu terhenti
Asal jangan kau habiskan nasikuuuu."
Teman saya itu tidak bisa mempertahankan diamnya, dengan terbahak-bahak dia menyapa, "Gila lo ndro, moso ketakutan nasinya gue habisin."
Thank God, teman saya sudah tidak ngambek lagi mendengar lagu yang beberapa dekade lalu seiring dinyanyikan  oleh mentor di kampus jika melihat yunior-yuniornya cemberut kecapekan. Nasi jadi tolok ukur untuk batas kesabaran sang mentor. Sepanjang nasinya tidak disentuh oleh orang lain, sang mentor akan bersabar menghadapi yunior-yuniornya yang manjah. Kelihatannya kocak namun secara tersirat tercermin betapa pentingnya nasi dalam kehidupan manusia Indonesia. Bagi 250 juta penduduk Indonesia, nasi adalah sumber energinya tiap hari. Â
Konsumsi nasi bersifat fleksibel tergantung kemampuan ekonomi  konsumennya. Tidak jarang kita menemukan kisah para pengkonsumi nasi dengan lauk minimalis semacam nasi ditaburi garam, nasi dengan tempe sepotong, nasi dengan seperempat telor dadar yang jadi menu keseharian wong-wong cilik.Â
Cukup dengan makanan demikian tubuh mereka yang tipis kering menyimpan  energi untuk mengais rezeki. Banyak orang yang sudah makan roti atau mie namun menganggap itu bukan makanan utama karena belum mengkonsumsi nasi. Jadi nasi itu kunci, kumendan.
Makanya tidak heran 51 tahun lalu, Negara merasa perlu membuat suatu Badan yang menyangga ketersediaan nasi/ beras secara konsisten. Pernah Negara bisa perkasa berswasemba Beras,  Tahun berganti dan Badan yang bernama BULOG itu mengembangkan sayapnya, tidak hanya semata menjaga stabilitas ketersediaan beras untuk rakyat. Namun juga menjadikan beras sebagai komiditas yang layak diperdagangkan dengan grade premium dan layak melenggang  di  hotel, restaurant dan cafe. Berhasil !!!
Sudah puas? Akh belumlah. BULOG ingin produknya dikonsumsi sebanyak mungkin orang. Jadilah BULOG berkolabrasi dengan Transmart Corp. Maka produk Bulogpun tersedia di Carrefour. BULOG terus melangkah. Kali ini dengan merangkul  pengusaha kecil melalui konsep Rumah Pangan Kita (RPK) cukup dengan uang Rp. 5 juta, kita sudah bisa jadi mitra BULOG dan membuka toko yang memperdagangkan segala produk besutan BULOG.Â
Yup, tidak hanya beras, BULOG menyediakan aneka kebutuhan pangan yang lain seperti Gula, Minyak Goreng, Tepung Terigu dan Daging yang dilabeli dengan kata  KITA .
Wow kok gede banget sih, mana terletak di Jalan Utama pula ( Jln Gatot Subroto, Jakarta ).  Pasti pembaca heran,  yah  outlet yang ini milik BULOG sendiri. Tepat di belakang dari toko terletak sederet gudang penyimpanan stok barang. Â
Ada spanduk yang menyambut, spanduk yang menginformasikan paket Ramadan yang disediakan Bulog dengan variasi harga dari Rp. 65 ribu hingga Rp. 250 ribu.  Keren, ternyata  Bulog tak ketinggalan dengan aneka market place yang menyediakan paket sembako. Paket-paket Ramadan ini bahkan bisa diantar jika pemesanan di atas 100 paket.
Saya lantas menuju kotak-kotak freezer yang menempel di tembok, ada daging sapi dan daging kerbau yang dibandrol dengan harga Rp. 80 ribu/ kg. Wooow, murah pake banget ya. Di pasaran kan harganya Rp. 130 ribu -- RP. 150 ribu per kg.
Makanya saya segera menjelaskan, "Siapa bilang harga daging mahal. Di Bulog harga daging hanya Rp. 80 ribu/kg loh. Ada 37.000 ribu distribution channel Bulog bernama Rumah Pangan Kita di sekitar kita yang siap melayani."
Eh penjelasan saya mendapat applaus gemuruh dari sekitar 100 peserta kuliah umum di MMUI itu.
Saya sendiri jadi kepikiran, wah daging ini pasti bermanfaat untuk bisnis makanan matang Rendang yang selama Ramadan dan Lebaran termasuk  ramai peminatnya. Dengan harga daging  yang jauh lebih murah bakalan menghasilkan omset dan keuntungan besar. Bayangkan, pasaran rendang matang saat ini Rp. 250 ribu/kg pastinya berasal dari daging yang berharga Rp. 130 ribu hingga Rp. 150 ribu/ kg. Coba jika modal daging hanya Rp. 80 ribu dan rendang dijual seharga Rp. 200 ribu/ kg. Pasti laris manis dan banyak pembelinya, baik rendang matang maupun daging mentahnya.
Mari kita kembali menyusuri RPK dimana saya menemukan bahwa  cabe dan bawang putihpun juga dijual. Walaupun untuk  hasil pertanian demikian, stocknya tergantung musim panen. But overall ini sungguh kabar baik.
Selain itu RPK diperkenankan menjual barang-barang tambahan di luar produk KITA.  Jadi pemilik RPK bisa menyesuaikan tokonya  kebutuhan masyarakat sekitarnya. Saat ini untuk beberapa area urban, RPK sudah cukup dikenal sehingga tercantum dalam peta Gojek.Â
Jadi mulailah berbelanja di RPK, harga bersahabat -- kualitasnya premium. Atau ingin menjadi mitra BULOG sebagai RPK? Â Atau berminat untuk jadi mitra BULOG sebagai Rumah Pangan Kita (RPK)?
Note: Semua foto koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H