Awalnya....
Bocornya surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada menteri BUMN Rini Soemarno dan menteri ESDM Ignasius Jonan berkaitan dengan kemungkinan gagal bayar utang PLN semacam menyodorkan fakta bahwa cita-cita Jokowi untuk menyediakan 35,000 Megawatt listrik ke seantero Indonesia masih jauh panggang dari api. Memang angka tersebut merupakan angka yang ambisius mengingat dalam era kepemimpinan SBY periode kedua yang mencanangkan penyediaan pasokan listrik 10,000 Megawatt hanya bisa tercapai sekitar 7,000 Megawatt saja.
Lebih jauh lagi menteri Jonan (27/09) memastikan bahwa  proyek listrik 35,000 watt tidak akan terlaksana pada tahun 2019. Menurutnya proyek tersebut diperkirakan baru akan terealisir  2023-2025 mendatang. Lebih jauh lagi Jonan menjelaskan penyebab dari mundurnya realisasi proyek tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia baru berada di kisaran 5% saja padahal untuk mencapai target listrik 35,000 watt, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada di angka 6-7%. Â
Makanya demi ketersediaan listrik, Pemerintah mendorong pihak swasta untuk berinvestasi di bidang pembangkit listrik. Masalahnya listrik swasta harganya enam sampai tujuh sen dollar AS sebelum negosiasi. Di lain pihak ada listrik yang lebih murah karena bertarif Rp. 432 per kWh. Listrik yang ini selain lebih murah juga lebih simpel, memberdayakan masyarakat sekitar serta melestarikan lingkungan alam. Listrik ini bernama Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH).
Listrik yang "hanya" membutuhkan sungai yang mengalir sepanjang tahun serta warga desa yang bersemangat. Karena pembangkit listrik dibangun dengan memanfaatkan aliran sungai sebagai penggerak turbin yang harus dipelihara warga setempat. Adalah seorang Tri Mumpuni, Sarjana Sosial Ekonomi lulusan IPB berkegiatan dalam pembuatan pembangkit listrik Mikro Hidro dari desa ke desa dan selama ini telah berhasil membuat 60 PLMH di berbagai desa di penjuru Indonesia.
Selanjutnya tim sosial akan turun melakukan pendekatan kepada sebanyak mungkin warga desa dan selanjutnya membentuk komunitas yang bertugas  mengelola dan merawat turbin. Komunitas harus memiliki struktur organisasi yang lengkap seperti ketua, sekretaris, bendahara serta perangkat lain di dalamnya. Komunitas ini selanjutnya akan mendapat pengajaran mengenai pemeliharaan dan pengoperasian turbin, penghitungan biaya oprasional dan penentuan tarif berlangganan untuk mendapatkan biaya bagi pemeliharaan turbin. Tentunya ini bukan langkah yang mudah. Perlu waktu dan kesabaran.
Membangkitkan kesadaran untuk memelihara adalah sebuah tugas yang cukup berat apalagi semakin berumur maka biaya pemeliharaan turbin akan meningkat, oleh karenanya komunikasi antar warga perlu dilakukan secara intense dan berkala. Namun jangan salah, pemeliharaan yang baik membuat turbin PLTH di Jepang yang dibuat tahun 1960an. masih berjalan dengan baik hingga saat ini.
Dampak pemberdayaan ekonomi sangat terlihat saat Tri Mumpuni membangun PLTH di desa Palanggaran dan desa Cicemet, di Gunung Halimun, Sukabumi di tahun 1997. Beberapa tahun kemudian saat dia mengunjungi kembali desa tersebut mendapatkan fakta bahwa uang iuran yang listrik yang dibayarkan oleh para warga  dipakai untuk membiayai pelebaran dan pengerasan jalan. Sehingga saat ini sudah bisa dilewati kendaraan roda empat. Pembangunan jalan ini membuka akses pada 10 desa sekitarnya. Bayangkan efek ekonomi yang terjadi.
Tri yang sebelumnya berasumsi masyarakat desa sulit diajak bicara soal masa depan, organisasi serta upaya membangun koperasi untuk memperkuat perekonomian ternyata salah. Banyak warga desa yang cepat nyambung ketika dia meluncurkan gagasan dana abadi dari iuran listrik. Kerja sama dengan PLN juga bisa dilakukan dengan cara membayarkan iuran warga desa ke PLN dan PLN yang melakukan pemeliharaan.
Seandainya jadi Program Negara
Selama ini pembiayaan diperoleh dari negara-nagara donor tapi jika Pemerintah  mengambil posisi pembiayaan tentunya bisa dilakukan demi menerangi desa-desa terpencil. Jika Pemerintah membangun 500 Megawatt listrik tenaga mikro-hidro, dan rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100kWh, berarti akan ada 5000 pembangkit. Sungguh ini bisa jadi solusi yang tepat mengingat jumlah desa di seluruh Indonesia sampai dengan Oktober 2015 berdasarkan data yang dirilis dari Kementerian Dalam Negeri mencapai 74.053 desa. Dengan adanya listrik di desa, akan terbuka pemberdayaan ekonomi yang lebih luas.
Ini penting sebab jika dilihat dari jumlah penduduk, masyarakat pedesaan mencapai 112,5 juta jiwa atau sekitar 45% dari seluruh penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta jiwa. Walaupun kelihatannya  prosentas penduduk desa lebih sedikit dari warga kota namun jangan lupa banyak penduduk desa pergi ke kota  (dan tentunya jadi warga kota) demi mengadu nasib dan mencari nafkah.
Membangun listrik desa penting karena jangan lupa j bahwa angka kemiskinan penduduk pedesaan jauh lebih tinggi dari perkotaan. Pada Maret 2017 penduduk miskin pedesaan mencapai 13.93%, jauh lebih tinggi dibandingkan warga miskin perkotaan yang hanya 7.72%. Jumlah penduduk pedesaan miskin berada diatas angka penduduk miskin nasional yang berada di level 10.64% pada Maret 2017. Membangun listrik di pedesaan bisa membuka pemberdayaan ekonomi dan kesempatan berusaha serta lapangan kerja, Belum lagi pengoperasian dan pemeliharaan turbin sendiri membutuhkan 3 pekerja..
Lantas darimana sumber dananya?
Dalam hal ini Pemerintah bisa memakai Dana Desa yang memang sudah digulirkan dari Pusat ke daerah sejak 2015 lalu. Pada 2015 Pemerintah sudah menganggarkan dana desa Rp. 20 triliun, pada 2016 sebesar Rp. 47 triliun, kemudian pada 2017 dianggarkan sebesar Rp. 60 triliun. Selama ini sayangnya dana desa yang sudah disalurkan ternyata banyak yang disalahgunakan baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan. Banyak pejabat daerah yang tersangkut korupsi dana desa. Bahkan KPK juga sudah menyoroti kelemahan Dana Desa yang membuka peluang korupsi.
- Desa yang berpenerangan,
- Berbagai kesempatan ekonomi yang terbuka,
- Lingkungan alam yang terpelihara dengan baik.
- Dana untuk pengadaan listrik di Pemerintahan Pusat bisa dialihkan untuk keperluan pembiayaan pembangunan yang lain
Ternyata belum saudara-saudara karena berdasarkan Protokol Kyoto, PLTH yang menurunkan emisi gas rumah kaca membuat kita bisa menjual Certified Emission Reduction dimana nilai untuk 5.000 Â PLTG akan mencapai 6 juta USD per tahun. Betapa besar income yang dihasilkan dari PLTH ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H