Masyarakat Siasati Belanjanya
Selain menabung, masyarakat tetap berbelanja namun secara Online. Saya amati banyak perdebatan antar pengamat mengenai seberapa besar pengaruh bisnis online pada perekonomian. Bahkan banyak yang meragukan besarnya pengaruh bisnis online ini, padahal perkembangan bisnis online ini sudah cukup signifikan. Bahkan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas Bambang Brodojonegoro menilai akibat perkembangan retail bisnis online ini menyebabkan tutup dan sepi gerai-gerai di mall dan tentunya menyebabkan terjadinya pengangguran, demikian kata Bambang.
Lebih jauh lagi Yustinus Prastowo -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis ( CITA ) mengungkapkan bahwa Indonesia masih kesulitan memungut pajak dari e-commerce skala kecil dan menengah. Sehingga saat belanja online naik, timbul potensi pajak hilang sebesar Rp. 20 triliun per tahun. Bisnis online saat ini berkembang pesat karena tidak memerlukan sewa tempat apalagi di lokasi mall-mall yang mahal. Karenanya biaya sewa tempat dan gaji karyawan yang besar dan dijadikan komponen dari harga bisa dipotong. Sehingga retailer online selalu menjual barang lebih murah dari barang mall kendatipun jenis barangnya sama.
Jika satu e-commerce bisa mencapai omset sedemikian besarnya, berapa total omset e-commerce yang ada di Indonesia?
Presiden Direktur PT Tiki Jalur Nugraha ekakurir (JNE), Feriadi menuturkan trend belanja online terus meningkat yang bisa dilihat dari terus naiknya jasa pengiriman dari toko-toko online. Saat ini jumlah pengiriman paket setiap bulannya 16 juta paket. Sekitar 60-70% pengiriman JNE adalah dari e-commerce. JNE menikmati pertumbuhan bisnis 30% Â per tahunnya sejak tahun 2010 sehingga Feriadi menyamakan potensi bisnis kurir ini sebesar APBNhttp://www.bisniskurir.com/2015/03/pasar-logistik-nasional-menyamai-apbn.html. Jika omset angkut barang sebesar APBN maka tentunya omset barang yang diangkut lebih besar dari APBN lah. Â
Lebih jauh Achmad Zaky menyarankan untuk melihat menurunnya daya beli masyarakat secara holistik. Selain bahwa yang sepi adalah mall, sementara bisnis online tidak karena modalnya kecil. Juga adanya pergeseran persepsi dagang dan perputaran ekonomi, misalnya saat ini tukang kopi di ujung jalan Sabang bisa mengantar kopi langsung pada pembelinya di apartemen mewah dekat jalan Sabang, padahal dulu mana bisa?
Di lain pihak, Â retailer kelas kakap tidak akan diam saja melihat gerai-gerainya di mall sepi. Semisal Matahari Dept. Store yang mulai mengembangkan e-commerce Matahari Mall. Alfa yang membuka e-commerce AlfaCart. Banyaknya retailer yang mulai membuka bisnis digital ini membuat emak-emak berdaster bisa kulakan consumer goods dengan harga sangat murah. Penawaran diskon mie instan Rp..1000.- perbungkus, gula pasir Rp. 9 ribu dan berbagai produk lain membuat mak-mak berburu diskon dan melahirkan komunitas modis (modal diskon). Jangan salah, pembelanjaannya sangat banyak hingga bisa untuk buka toko sendiri.
Harganya jauh lebih miring daripada jika belanja di hypermarket/ supermarket.  Emak-emak berdaster tak perlu berdandan saat belanja, uang dua ribu masih ada harganya. Coba belanja  hypermarket/ supermarket. Yang mencengangkan ( buat saya ) adalah makin banyaknya tumbuh rumah yang dijadikan tempat berjualan sayur seperti yang saya temukan ini.Â
Tepat di pinggir jalan, berjualan sayur dilengkapi freezer kaca tempat menaruh aneka daging dan ikan. Saya amati seorang ibu yang berbelanja separuh ayam, sayur mayur termasuk cabe  mengeluarkan uang tidak sampai Rp. 50 ribu. Sudah lengkap untuk makan siang dan malam keluarga, tak perlu bayar parkir dan biaya kenakalan lain ( jajan di mall ). Masyarakat tidak berbelanja di mall, dia berbelanja di kedai rakyat.