Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bakmi Mewah Jembatan Persahabatan dengan Si Embak

31 Desember 2016   17:59 Diperbarui: 31 Desember 2016   18:03 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi yang masih temaram belum bermandikan sinar matahari membuatku masih bermalas-malasan di tempat tidur sembari menyusuri aneka informasi dari gadget. Harum kentang berbaur tahu goreng menyeruak dari dapur, waduh sepagi ini si Nenek ( panggilan pada ART yang sudah berusia 72 tahun ) bikin apa ya? Pertanyaan segera terjawab saat  dia menguak pintu kamar seraya menyapa, “Dek nih cobaain tahu bulat dulu.”

Woow, dibawakannya sepiring tahu bulat….nyoi, nyoi. Wah ini kali pertamanya dalam 40 tahun masa kebersamaan dengan kami, dia berinisiatif sendiri menyiapkanbreakfast in bed. Karena memang tidak ada kebiasaan demikian pada keluarga kami. Tapi jangan ditanya panganan-panganan ekstra yang sering dibelikannya bagi kami. Seperti tahu bulat itu, dia beli sendiri.  Sewaktu aku tunjukan gambar dari media sosial berupa penganan Thailand kekinian yang bernama  Manggo Sticky Rice alias mangga bungkus beras ketan bersalut vla santan, sementara kami sedang panen buah mangga, dia segera membeli ketan dan pisang goreng @ Rp. 1,000.- dan taraaa jadilah cemilan demikian.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Mungkin karena kebersamaan kami sudah melalui rentang waktu yang panjang, terkadang aku hanya berangan ingin makan nasi pecel, eh tau-taunya dia membelikan seporsi nasi pecel

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Semua makanan sampingan itu  dibelinya dengan uang sendiri tapi dibagikan pada kami sudah merupakan salah satu kebiasaannya. Kedekatan kami terbentuk secara alami seiring dengan perkembangan waktu. Mbak Preh demikian pertama kali kami memanggilnya namun sekarang dia lebih sering dipanggil Nenek. Empat puluh tahun silam datang ke rumah nenek di Jogja dengan menggendong mayat bayinya. Bayi yang meninggal karena kalirenalias kelaparan, jelas nenekku. Suaminya yang tentara meninggalkan mereka begitu saja sementara mbak Preh yang bekerja sebaga ART di rumah seorang mucikari akan segera dikaryakan sebagai salah seorang PSK.

Ibu segera membawa mbak Preh ke Jakarta dan ternyata dia merupakan pekerja keras di rumah.  Bayangkan saja dia kuat mengangkat sendiri jatah beras bulanan bapak yang PNS. Menangkap tikus-tikus bandel dan beragam pekerjaan ajiib lain. Sebenarnya wajahnya cantik dan membuatnya segera menjadi kembang bagi para  pengemudi, satpam dan pekerja kasar lain di kompleks perumahan dan sekitarnya. Sayangnya hingga berusia 72 tahun, dia masih sendiri. Saat menginjak usia 65 tahun, kami pernah menawarkannya pensiun di rumah jompo tentunya atas tanggungan kami, namun dia langsung ketakutan dan merasa terbuang.

Ya sudah kami putuskan dia akan tinggal bersama kami hingga akhir usianya, kami mengambil ART partimer untuk mengerjakan pekerjaan kasar di rumah dan belakangan berlangganan catering harian juga. Praktis dia tidak bekerja lagi. Kekhawatirannya akan dipanti jompokan menjadi keisengan kami menggodanya manakala dia akan menginjak usia 69 tahun. Waktu itu saya berada di Surabaya namun akan segera mengunjungi Jakarta, adik-adik dan Mini si ART partime sibuk melakukan konspirasipersiapan surprise party bagi si Nenek. Nenek mulai mengendus kegiatan bisik-bisik yang mencurigakan itu, demikian cerita adik. Saya segera menelpon Nenek,

“Mbak Preh jadinya mau pilih yang mana?”

Pilih apaan dek?, dia bertanya tak mengerti.

“Pilih panti jomponya lah, memang adikku belum nawarin?”

Dengan lemas dia menjawab, “ Tuh kan aku dah curiga soalnya si adik  sama Mini sibuk bisik-bisik melulu. “

Telpon ditinggalkannya begitu saja, si Adik mengambil alih telpon dan kamipun cekikikan berdua. Esoknya saya terbang ke Jakarta dengan pesawat pertama dan sampai di rumah pas tumpeng pesanan adik datang. Teman-teman dan saudara mbak Preh juga diundang ke rumah, airmatanya mengalir deras. Doa dipanjatkan sebelum lilin ulangtahun ditiup.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Saya pernah memberi mbak Preh sekotak Mie Mewah yang langsung dimasaknya. Masalahnya dia mencampur dengan air rebusan mie yang membuat rasanya jad biasa.

 “Bukannya ga usah pakai kuahnya. Dah dibaca petunjuk masaknya?” Saya mengingatkannya.

Dengan yakin dia mengatakan sudah mengikuti petunjuk memasaknya, “Biasa aja ya. Kok mahal amat.”

Penasaran dengan versi Mie Mewahnya, beberapa hari lalu saat satu minimarket sedang memberikan penawaran spesial untuk pembelian Bakmi Mewah, saya langsung membeli beberapa sesuai paket penawaran. Sesampai di rumah, membaca petunjuk memasaknya, nyalakan kompor lalu jerang air di atas wajan. Masukkan mie ke dalam air yang sudah mendidih. Angkat mie, tiriskan dan letakkan dalam mangkuk. Taburi daging dan bumbu….Taraaa. Berikan pada si Nenek yang beberapa waktu lalu membuat Mie Mewah dengan mencampurkan air rebusan.

“Begini lho mbak Preh masaknya,” seraya mengulurkan mangkuk berisi racikan bakmie mewah. Tak perlu ditambahi aneka garnis sebab begitulah cara menikmati keaslian suatu masakan. Demikian yang disampaikan sang pakar kuliner Bondan Winarno. Namun di sampingnya saya sediakan bakso, sosis, telor puyuh masak asam manis. 

Harian Kompas kemarin lagi-lagi mengisahkan mengenai ketergantungan rumah tangga para kaum urban pada si Embak ( assisten rumah tangga ), namun seringkali si Embak  keluar masuk dari tempatnya kerjanya. Sebagai seorang yang memiliki Embak yang awet, saya pikir penting untuk mendekatkan diri dengan para embak bisa dengan memakai Bakmi Mewah seperti yang saya lakukan ini....

Dok.pribadi
Dok.pribadi
“Wah berasa mie ayam beneran ya.” Dengan lahap dia menikmati semangkuk mie mewah.

Pertukaran penganan sederhana di antara kami merupakan salah satu pengikat hati. Assisten Rumah Tangga adalah bagian dari keluarga kita, selayaknya diperlakukan seperti anggota keluarga yang lain. Sesuatu yang sering kita lupakan terutama terhadap ART. Belum terlambat untuk memulainya, sekotak Bakmie Mewah bisa jadi awalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun