Premanisme telah menjadi bayangan gelap yang menyelimuti kehidupan di Pasar Ciputat. Di balik hiruk-pikuk pasar yang penuh warna dan aktivitas, ada cerita-cerita tentang ketakutan dan intimidasi yang menghantui para pedagang dan pengunjung. Meskipun tidak semua orang merasakan dampaknya secara langsung, keberadaan premanisme ini nyata dan tak dapat diabaikan. Berbagai pengalaman dari pedagang dan pengunjung memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi ini.
Pak Jasar: Perspektif dari Pedagang Senior
Pak Jasar telah menjadi saksi bisu kehidupan Pasar Ciputat selama 30 tahun. Sebagai pedagang yang telah lama berjualan di sana, ia memiliki pandangan yang cukup seimbang mengenai premanisme. "Premanisme itu ada, dan memang ada yang suka ganggu tapi bukan di sekitar saya. Kalau di sini nggak mengganggu dia," ungkap Pak Jasar. Meskipun ia mengakui adanya premanisme, ia merasa bahwa preman tersebut tidak mengganggu wilayah di sekitar lapaknya.
Pak Jasar juga menambahkan bahwa keberadaan preman diatur oleh orang-orang tertentu yang mengelola situasi ini. "Saya tidak pernah mengalami premanisme. Karena di sini ada orang tertentu yang mengelola. Walaupun tetap preman tapi tidak mengganggu," jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada semacam kesepakatan tak tertulis antara para pedagang dan preman untuk menjaga ketertiban dan ketenangan di bagian pasar tertentu.
Namun, bagi orang yang baru masuk ke pasar, pengalaman bisa berbeda. "Tetapi untuk orang yang baru masuk, dia ditanya-tanya," kata Pak Jasar. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada aturan yang mengatur keberadaan preman, intimidasi tetap dapat terjadi terhadap pendatang baru yang belum mengenal situasi dan aturan tak tertulis di pasar ini.
Pak Terry: Menghadapi Realitas dengan Bijak
Pak Terry, seorang pedagang yang telah berjualan di Pasar Ciputat selama 24 tahun, juga memberikan pandangannya tentang premanisme. "Premanisme pasti semua pasar ada, kalau di sini biasanya ada yaa ormas lah yang suka ganggu, kaya semisal suka mintain duit pedagang-pedagang dan ambil gorengan dari pedagang lain," katanya. Menurutnya, premanisme bukanlah hal baru dan sudah menjadi bagian dari kehidupan pasar di banyak tempat, termasuk di Ciputat.
Pak Terry menunjukkan sikap yang bijak dalam menghadapi realitas ini. "Karena mereka anak daerah, jadi bapak rasa kita yang orang luar harus menghargai mereka walaupun mereka merasa seperti yang punya tempat ini. Karena kita sama, cari makan," ungkapnya. Ia menyadari bahwa preman lokal merasa memiliki daerah tersebut dan pedagang dari luar harus menghormati keberadaan mereka demi menjaga keharmonisan.
Namun, Pak Terry juga memiliki prinsip tegas dalam membedakan peran pedagang dan preman. "Jadi gini bapak ada 2 sudut pandang, kalau kita mau dagang jangan jadi preman tapi kalau kita mau jadi preman jangan dagang," jelasnya sambal tertawa. Prinsip ini menunjukkan bahwa ia sangat menghargai profesionalisme dalam berdagang dan mengutuk tindakan premanisme.
Pak Terry juga berbagi pengalaman yang cukup mengejutkan tentang kekerasan yang pernah terjadi di pasar ini. "Bapak nggak pernah ngalamin, tapi bapak pernah lihat. Bahkan pernah sampai dibacok temen bapak sekitar tahun 2007-an," katanya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa premanisme bisa berujung pada kekerasan fisik, yang menambah ketakutan bagi para pedagang dan pengunjung.
Bu Jessi: Pengunjung yang Belum Pernah Terpapar Premanisme
Di sisi lain, ada juga pengunjung seperti Bu Jessi yang belum pernah merasakan atau menyaksikan premanisme di Pasar Ciputat. "Dari ibu pribadi, nggak ada hal-hal seperti itu, ibu belum pernah ngerasain," katanya. Bu Jessi, yang sering berbelanja di pasar ini, tidak merasakan ancaman premanisme secara langsung.
Ia juga menambahkan, "Oh, nggak pernah juga ibu lihat yang seperti itu." Pengalaman Bu Jessi menunjukkan bahwa premanisme mungkin tidak selalu terlihat atau dirasakan oleh semua orang. Bagi sebagian pengunjung, Pasar Ciputat mungkin tampak seperti pasar biasa tanpa adanya gangguan dari preman.
Kesimpulan: Realitas yang Perlu Ditangani dengan Serius
Premanisme di Pasar Ciputat merupakan realitas yang tidak bisa diabaikan. Meskipun tidak semua orang merasakan dampaknya, pengalaman pedagang seperti Pak Jasar dan Pak Terry menunjukkan bahwa ancaman ini nyata dan bisa berdampak serius. Pengalaman Bu Jessi sebagai pengunjung yang tidak pernah merasakan atau melihat premanisme juga penting untuk dipertimbangkan, karena menunjukkan bahwa ancaman ini mungkin tersembunyi dari pandangan umum.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerja sama antara pihak berwenang, pengelola pasar, dan komunitas pedagang untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua orang. Premanisme tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga mengancam kesejahteraan dan keamanan para pedagang serta pengunjung. Dengan penanganan yang tepat, diharapkan Pasar Ciputat bisa menjadi tempat yang lebih aman, damai, serta nyaman bagi semua pihak yang terlibat.
Selain itu, perlu dilakukan upaya sosialisasi dan edukasi kepada para pedagang dan pengunjung tentang pentingnya melaporkan segala bentuk intimidasi atau kekerasan kepada pihak berwenang. Penegakan hukum yang tegas dan adil juga harus diterapkan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku premanisme. Kerjasama antara aparat keamanan, pengelola pasar, dan komunitas lokal dalam menciptakan sistem pengamanan yang efektif bisa menjadi langkah nyata dalam mengatasi premanisme.
Keselamatan dan kenyamanan di Pasar Ciputat harus menjadi prioritas utama, bukan hanya bagi para pedagang yang mencari nafkah, tetapi juga bagi para pengunjung yang berbelanja di sana. Upaya bersama dan kesadaran kolektif akan pentingnya lingkungan yang aman dan kondusif adalah kunci untuk mengatasi ancaman premanisme dan menciptakan pasar yang lebih baik bagi semua.Â
Penulis: Muhammad Dava Fauzy, 11230511000086, Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H