Mohon tunggu...
Davilla Nasya Aulodia Ardhana
Davilla Nasya Aulodia Ardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari'ah UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa yang mendalami Hukum Ekonomi Syari'ah. Tertarik untuk berbagi pemikiran tentang perkembangan ekonomi, keadilan sosial, dan isu-isu kontemporer. Mari berdiskusi!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Gemerlap K-Pop ke Meja Hijau: Analisis Positivisme Hukum dalam Kasus Burning Sun

24 September 2024   19:22 Diperbarui: 24 September 2024   19:39 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skandal Burning Sun yang mengguncang Korea Selatan pada tahun 2019 menjadi salah satu kasus hukum besar yang melibatkan selebritas, industri hiburan, serta dugaan kejahatan yang serius, seperti kekerasan seksual, narkoba, dan suap. Kasus ini menarik perhatian tidak hanya dari masyarakat Korea tetapi juga dari penggemar K-pop di seluruh dunia. Melalui lensa filsafat hukum positivisme, kita dapat memahami penerapan hukum dalam kasus ini.

Mazhab Hukum Positivisme

Positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah dan harus dipatuhi tanpa mempermasalahkan nilai moral atau etika. Dalam pandangan ini, hukum merupakan perintah dari otoritas yang berwenang dan harus dijalankan terlepas dari apakah aturan tersebut dianggap adil secara moral. Para tokoh seperti John Austin dan H.L.A. Hart menyatakan bahwa hukum dan moralitas harus dipisahkan; yang menjadi fokus adalah bagaimana hukum ditegakkan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan.

Kasus Burning Sun

Skandal Burning Sun mencakup berbagai kasus kejahatan berat, termasuk penyalahgunaan narkoba, kekerasan, pelacuran, dan korupsi yang melibatkan polisi. Beberapa artis K-pop, termasuk Seungri, mantan anggota boyband Big Bang, terlibat dalam kasus ini. Seungri dituduh terlibat dalam penyediaan layanan prostitusi untuk investor asing serta penyuapan pihak kepolisian untuk menutupi pelanggaran yang terjadi di klub malam Burning Sun. Dalam hal ini, hukum Korea menuntut para pelaku berdasarkan undang-undang pidana yang berlaku.

Dari perspektif hukum positivisme, fokus utama dalam kasus ini adalah penerapan hukum yang berlaku secara tegas. Terlepas dari status selebritas para tersangka, hukum harus ditegakkan berdasarkan aturan yang sah, bukan berdasarkan opini publik atau faktor sosial lainnya. Jika terbukti bersalah berdasarkan hukum pidana Korea, para tersangka harus menerima hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, tanpa memperhatikan apakah mereka populer di masyarakat atau tidak.

Argumentasi Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum di Indonesia

Meskipun kasus Burning Sun terjadi di Korea Selatan, penerapan mazhab hukum positivisme juga relevan dengan konteks hukum di Indonesia. Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia jelas mengatur berbagai kejahatan, termasuk tindak pidana yang mirip dengan yang terjadi dalam skandal Burning Sun, seperti korupsi, perdagangan manusia, dan penyalahgunaan narkoba.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan positivisme hukum menekankan pentingnya penegakan hukum berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh negara. Dalam kasus serupa di Indonesia, misalnya, kasus yang melibatkan figur publik atau selebritas, harus diselesaikan berdasarkan peraturan yang ada, tanpa dipengaruhi oleh tekanan publik atau faktor sosial lainnya. Selama ada bukti dan hukum yang jelas, tindakan yang melanggar hukum harus mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang.

Kesimpulan

Melalui perspektif filsafat hukum positivisme, skandal Burning Sun dapat dianalisis sebagai contoh penerapan hukum yang tidak memandang status sosial atau moralitas para pelaku. Hukum diterapkan berdasarkan aturan yang sudah ada, tanpa mempertimbangkan opini publik atau nilai-nilai moral. Mazhab hukum ini menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh otoritas hukum yang sah, dan bukan berdasarkan nilai-nilai subjektif masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun