Mohon tunggu...
Daa -
Daa - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Belajar mencintai cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sulitkah Hidup Ini, Mak?

16 September 2013   16:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
comenkaryadwipangga.blogspot.com

[caption id="" align="alignnone" width="583" caption="comenkaryadwipangga.blogspot.com"][/caption]

Pernah suatu kali di usiaku yang ke duapuluh, aku bertanya kepada emak

“sulitkah hidup ini, mak?”

kau tahu, dia hanya diam dan menggeleng, kemudian berkata “ora, opone seng angel.

“ah, pasti pernah merasakan sulitnya hidup kan, mak?”

biyen opo saiki podo wae, ora onok urip angel kuwi.

“kok bisa?”

ealah lhe, emak iki ojo dikon njelasno, urip kuwi dilakoni, ora mung crito.

Begitulah emak, mungkin kau tidak percaya bahwa emakku tidak pernah sekalipun mengeluh dalam menjalani hidup, bagaimanapun sangat memprihatinkan hidupnya di mata orang lain, bagi emak tak ada namanya prihatin dalam hidup. Konon, kata emak, tiap bulan bapak hanya berpenghasilan kurang dari seratus ribu, maka setiap harinya, emak hanya menghabiskan uang tiga ribu rupiah buat belanja. Bapakku orang baik, dia selalu meminta maaf kepada emak tiap kali memberi uang belanja “sepurone Sri, mung semene” tapi dasar emak, dia malah tersenyum dan membalas “wes akeh iki pak, wes cukup” sambil tersenyum penuh penghargaan.

Aku selalu rindu pulang ketika pikiran sedang tak karuan, aku ingin memandang wajah emak dan bapak di kampung, kehidupan kota nyaris dipenuhi keluhan-keluhan dan di wajah mereka berdua kutemukan keteduhan yang menghapus keluhan-keluhan itu.

Tanpa perlu diminta, emak akan bercerita kepada anak lelakinya yang pulang dari rantau, membersihkan hatiku yang lusuh oleh rasa rindu. “lhe, urip kuwi ora usah ngresulo, kuncine mung siji, ojok kakean kepinginan.”

Ya, jangan banyak keinginan kata emak, bersyukur atas apa yang dipunya, sabar atas keinginan yang belum kesampain “ojo nggěgě mongso!” jangan mendahului takdir. Semua itu ada saatnya.

Kalau kalian adalah orang yang hobi mengeluh soal kehidupan, atau suka mengutuk dan mencaci pemerintah, mari kuajak istirah. Kuajak kalian memandang wajah emak. Yang tidak pernah peduli apakah nilai rupiah anjlok atau tempe langka, baginya hidup adalah anugerah tak ternilai, maka masihkah ada celah untuk sebuah keluhan?

Ya, pemerintah memang tak becus dan serakah. Benar, mereka memang sangat layak dikutuk dan dicaci, tapi apakah hal itu bisa membuat hatimu gembira. Percuma, mereka adalah patung-patung tak berkuping yang hanya pintar bagaimana membuat perut kenyang. Maka, lihatlah wajah emak, mintalah doa darinya, semoga tuhan tak berbohong jika surga memang benar berada di bawah kakinya.

“Mak, doakan bangsa ini mak, doa kesejahteraan, biar keluhan-keluhan itu minggat dari diri saudara-saudara kita”

___

“ora, opone seng angel”

biyen opo saiki podo wae, ora onok urip angel kuwi.

ealah lhe, emak iki ojo dikon njelasno, urip kuwi dilakoni, ora mung crito.

“sepurone Sri, mung semene.”

“lhe, urip kuwi ora usah ngresulo, kuncine mung siji, ojok kakean kepinginan.”

~

“apanya yang sulit”

“dulu apa sekarang sama saja, tidak ada yang namanya hidup sulit itu”

"ealah nak, jangan suruh emak menjelaskan, hidup itu dijalankan, bukan cuma cerita"

"maaf Sri, cuma segini"

“nak, jangan mengeluh dalam hidup, kuncinya cuma satu, jangan banyak keinginan”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun