Tantangan Geopolitik Global, Pendadakan Strategis Ukraina Harus Diwaspadai
Menyikapi dinamika politik keamanan global di awal tahun 2022, kembali menyadarkan kita untuk selalu waspada dan siap untuk menghadapi pendadakan strategis. Setelah dunia dikejutkan oleh pandemi Covid-19 di awal tahun 2020, sekarang saat dunia masih fokus untuk mengatasi gelombang Omicron dan pemulihan ekonomi global, kita harus mengantisipasi disrupsi keamanan dengan meletusnya perang di Ukraina.
Tentunya, kita berhadap agar Rusia dan Ukraina segera menemukan titik temu untuk menghentikan penggunaan kekerasan, dan menggunakan saluran diplomatik untuk memulihkan stabilitas dan perdamaian di Ukraina.
Dari sisi militer, perang di Ukraina harus menjadikan pembelajaran tentang bagaimana eskalasi konflik bisa secara cepat meningkat menjadi perang terbuka. Kita harus mencermati mengapa upaya-upaya diplomasi gagal mencegah perang. Kita harus melakukan kajian strategis mengapa strategi-strategi penangkalan yang digelar di mandala Eropa juga gagal mencegah perang. Kita harus mendalami bagaimana dilema keamanan antara AS-NATO- Ukraina dan Rusia ber-eskalasi menjadi ketegangan diplomatik, yang menemui “titik buntu strategis” (strategic stalemate) yang kemudian memicu perang.
Dari sisi gelar militer, kita juga harus mendalami bagaimana gelar kekuatan yang cenderung tidak berimbang antara Ukraina dan Rusia akhirnya ber-eskalasi menjadi perang asimetrik. Kita juga harus mengkaji perubahan-perubahan taktik dan teknologi tempur yang digunakan untuk memastikan gelar kekuatan kita tetap relevan dengan dinamika teknologi persenjataan terkini.
Untuk Indonesia, perang di Ukraina akan memberikan pengaruh politik dan ekonomi yang mengharuskan kita untuk mengkalkulasi ulang strategi kebijakan serta program pemulihan ekonomi dan reformasi struktural yang menjadi fokus pemerintah di tahun 2022. Pendadakan strategis Ukraina ini harus terus dicermati untuk mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi kita. Mitigasi-mitigasi struktural dan substantif komprehensif yang sudah kita jalankan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 sudah memberikan kita pembelajaran yang penting untuk mengatasi pendadakan strategis.
Kita sudah relatif berhasil melakukan navigasi kebijakan untuk mengatasi masalah goncangan penawaran (supply shock) yang antara lain ditandai dengan gejolak harga energi. Kita juga sudah berhasil mengatasi masalah kelangkaan kontainer yang mengganggu kegiatan ekspor dan impor kita. Kita berhasil mengoptimal kenaikan harga komoditas strategis global untuk memperkuat pemulihan ekonomi nasional.
Salah satu pembelajaran utama dari pendadakan strategis pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina adalah situasi politik keamanan dan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika global. Untuk itu, perumusan strategi kebijakan yang bersifat komprehensif, holistik, yang selalu mengandalkan sinergitas lintas sektor harus menjadi formula andalan untuk mengatasi pendadakan strategis.
Di tahun 2022 ini, salah satu fokus pemerintah adalah melakukan reformasi struktural. Reformasi struktural ini juga sebaiknya dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI terutama untuk meninjau kembali pencapaian implementasi Undang-Undang Pertahanan Negara yang tahun ini genap berlaku 20 tahun. Reformasi struktual dilakukan dengan mengkaji secara dalam seluruh aspek reformasi militer dan transformasi pertahanan mulai dari kerangka regulasi, kerangka doktrin dan kebijakan, organisasi Kemhan dan Mabes TNI, gelar kekuatan TNI, ekonomi pertahanan, industri pertahanan, hingga kesejahteraan prajurit.
Sebagaimana diamanatkan oleh Panglima Tertinggi, Presiden Joko Widodo di HUT TNI ke-75 tanggal 5 Oktober 2020, TNI harus disiapkan untuk menghadapi perang masa depan yang antara lain akan sangat mengandalkan kemampuan adaptasi teknologi. Dalam amanat HUT TNI ke 76, tanggal 5 Okotober 2021, Presiden Jokowi juga memerintahkan TNI untuk melakukan transformasi pertahanan untuk membentuk Kekuatan Pertahanan Indonesia 2045. Kedua amanat ini, merupakan panduan untuk meninjau keharusan melakukan kembali reformasi struktural TNI.
Kita tentu ingat pidato Bung Karno pada peringatan Satu Tahun Indonesia Merdeka di depan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Bung Karno berpesan: ”kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita, jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan
tadi: rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, hanya rakyat yang demikianlah yang dapat bernegara kekal abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya.”
Kutipan pesan Bung Karno tersebut terasa tepat ketika kita membicarakan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural yang sedang kita kerjakan. Sampai saat ini kita masih dihadapkan pada pandemi covid-19 yang berdampak luas pada seluruh sektor kehidupan masyarakat, terutama pada sektor kesehatan dan perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yang berskala global, membuat setiap negara berupaya sekuat tenaga menghindari krisis yang berkepanjangan.
Pada fase pertama, yang akan kita hadapi adalah krisis kesehatan. Hingga akhir Februari kemarin, lebih dari 433 juta warga dunia dari 226 negara telah terpapar Covid-19, dan sekitar 6 juta jiwa diantaranya tidak terselamatkan. Demi keberpihakan kita pada kesehatan dan keselamatan masyarakat, kita “dipaksa” untuk membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat, sehingga berdampak pada melemahnya perpertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya mengantarkan kita pada jurang resesi. Pada tahap inilah kita memasuki fase krisis ekonomi.
Dalam skala riil-nya, dampak resesi ekonomi terlihat dari meningkatnya pengangguran, turunnya pendapatan, meningkatnya angka kemiskinan, melebarnya angka ketimpangan, di samping banyaknya dunia usaha --termasuk UMKM sebagai sentra ekonomi rakyat-- yang terpaksa gulung tikar.
Jika tidak segera diatasi, yang terjadi berikutnya adalah terjadinya krisis sosial. Bahkan di negara maju sekelas Amerika Serikat, melemahnya aktivitas perekonomian dan PHK massal telah menjadi sumbu bom waktu, yang berujung pada kerusuhan massa dan penjarahan di berbagai negara bagian. Jika merujuk pada catatan sejarah, kita pun pernah memiliki catatan kelam ketika krisis ekonomi berujung pada krisis sosial pada tahun 1998.
Pada fase akhir, kegagalan mengendalikan krisis sosial akan mengantarkan pada fase berikutnya, yaitu krisis politik, yang akan mengancam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pada titik ini, kita menyadari bahwa ada hubungan kausalitas yang sangat erat antara stabilitas perekonomian dengan kondisi pertahanan dan keamanan suatu negara.
Dalam konteks inilah kita merasa bersyukur memiliki TINI dan POLRI, sehingga kita tidak sampai masuk pada krisis sosial dan krisis politik. Kiprah dan kontribusi TNI dan POLRI dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dengan berbagai dampaknya, patut kita apresiasi. Peran TNI dan Polri tidak hanya kita rasakan melalui giat “cipta kondisi”, melainkan juga sebagai generator berbagai kebijakan penanggulangan pandemi, di samping berbagai aksi solidaritas dan bantuan kemanusiaan, baik yang dilakukan secara institusi kelembagaan, maupun secara pribadi dari personil-personil TNI dan Polri yang berjiwa patriot.
OPTIMALISASI GEOSTRATEGI INDONESIA DI SELAT MALAKA
- Geostrategi Indonesia
Pada dasarnya geostrategi mempunyai definisi sebagai kemana arah geografis dari kebijakan luar negeri suatu negara. Lebih tepatnya, geostrategi memperlihatkan kemana negara memfokuskan militer power projection nya serta berbagai usaha diplomatik. Perlu diingat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh negara adalah terbatas, sehingga penggunaan sumber daya ini harus hati – hati dan difokuskan kepada sektor yang memang krusial. Variabel utama dari geostrategi adalah batas negara, negara akan melakukan apapun untuk melindungi teritorinya dari serangan dan invasi dan batas negara adalah salah satu alat ukur yang tepat untuk keamanan teritori (Grygiel, 2006). Biasanya, fokus negara dalam melindungi teritorinya berada pada daratan dibandingkan dengan lautan. Namun, hal ini sebenarnya tergantung dari letak geografis negara itu sendiri. Lagipula negara dengan batas daratan seringkali berada dalam kondisi stabil, jika negara tetangganya mempunyai hubungan yang baik (Grygiel, 2006). Kesimpulannya, batas negara begitu mempengaruhi arah dari geostrategi suatu negara. batas negara terprovokasi, maka negara akan mengeluarkan segala usahanya dalam hal ini dan membatasi usaha kendali dari sumber daya dan rute perdagangan.
Di Indonesia, geostrategi didefinisikan sebagai sebuah cara yang digunakan untuk menentukan arah kebijakan serta arah penggunaan sarana dengan tujuan untuk mencapai tujuan bangsa dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial (Agus, 2015). Tujuan dari geostrategi Indonesia sendiri diarahkan kepada lima hal, yaitu: penegakan hukum dan ketertiban; perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran; pertahanan dan keamanan; keadilan hukum dan sosial; serta kebebasan rakyat (Agus, 2015). Dalam pelaksanaannya, geostrategi Indonesia berusaha untuk diwujudkan lewat adanya konsep Ketahanan Nasional.
Ketahanan Nasional dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi bangsa yang dinamis yang selalu dalam mempertahankan kedaulatannya dihadapkan oleh berbagai ancaman dan hal ini diupayakan dengan melalui pembangunan nasional di seluruh aspek kehidupan nasional (Suradinata, 2001). Aspek kehidupan nasional ini berdimensi Asta Gatra. Asta Gatra sendiri merupakan sebuah kehidupan nasional yang kompleks namun disederha-nakan sedemikian rupa, tapi tetap mencerminkan kehidupan nasional yang nyata (Suradinata, 2001). Asta Gatra terdiri dari dua aspek, yaitu tiga unsur yang terkandung dalam aspek ilmiah (Tri Gatra) dan aspek sosial yang berjumlah lima unsur (Panca Gatra) (Agus, 2015). Ketika dua aspek ini dijumlah maka berjumlah delapan unsur sehingga dinamakan Asta Gatra. Aspek ilmiah yang berjumlah tiga, terdiri dari geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam. Sedangkan aspek sosial yang berisi lima unsur terdiri dari, ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamanan (Mulyono, 2017). Keterkaitannya dengan geostrategi adalah, geostrategi dalam pelaksanaannya tergantung kepada pemberdayaan aspek ilmiah atau Tri Gatra yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan aspek sosial atau Panca Gatra.
- Arti Penting Selat Malaka
Selat Malaka merupakan selat yang berada diantara Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatera dengan panjang 800 km dengan lebar 65 km dan sedalam 22.5m (Fathun, 2019). Selat Malaka adalah jalur yang paling cepat dan tersingkat yang menghubungkan antara Asia dan India.Selat Malaka ini menjadi salah satu “choke point” perdagangan dunia yang menghubungkan Laut Cina dengan Samudera Hindia, dan dengan lebar tersempit hanya selebar 2.8km saja, menjadikan Selat Malaka sebagai salah satu selat dengan tingkat kemacetan yang signifikan di dunia (Evers & Gerke, 2011). Selat Malaka ini telah menjadi jalur distribusi barang dan energi dunia yang dibuktikan dengan jumlah kapal yang melintas di selat ini lebih dari 70.000 kapal, dan seringkali yang melintas adalah kapal berjenis kontainer maupun tanker dari Timur Tengah menuju Laut Cina Selatan maupun sebaliknya (Aldebaran, 2016).
Selat Malaka bagi negara littoral states (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) mempunyai nilai penting tersendiri. Terlepas dari menjadi jalur perdagangan tersibuk di dunia, Selat Malaka juga menjadi salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, Selat Malaka merupakan sumber penangkapan ikan terbesar kedua setelah Laut Jawa dan sedangkan bagi Malaysia dapat menghasilkan sebesar 60% dari total penangkapan ikan selama satu tahun (Kawengian, 2017).
Selat Malaka “dimiliki” oleh beberapa negara sekaligus, hal ini terjadi karena adanya perjanjian UNCLOS ketiga yang berisi tentang penambahan 12 mil dari garis pantai menjadi bagian dari kedaulatan sebuah negara. Sebelum adanya perjanjian UNCLOS ketiga, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Indonesia sudah mengklaim bahwa perairan disekitar Indonesia sepanjang 12 mil dari garis pantai. Hal ini sempat membuat hubungan Indonesia dan Malaysia renggang, karena Malaysia pun juga berbuat hal yang sama demi menyesuaikan kebijakan Indonesia (Matthews, 2015). Untuk menghindari konflik yang tidak diperlukan, Jakarta mengundang Kuala Lumpur untuk mendiskusikan hal ini. Akhirnya kedua belah pihak merasa mendapatkan kepuasan setelah berdiskusi dan membuat perjanjian terkait hal ini dengan cara membuat batas negara dibagian tengah atau median dari titik terluar di masing – masing sisi pulau pada tahun 1970 di Kuala Lumpur (Matthews, 2015).
Bagi negara – negara dan pihak yang berkepentingan dan rajin melewati selat ini, maka sudah hal yang logis jika mereka menginginkan Selat Malaka ini menjadi perairan internasional yang bebas tanpa ada yang mengklaim perairan tersebut. Akan tetapi, yang dilakukan oleh littoral states khususnya Indonesia dan Malaysia adalah sebaliknya. Kedua negara ini dengan terang – terangan mendeklarasikan bahwa Selat Malaka bukanlah perairan bebas internasional, melainkan bagian dari wilayah kedaulatan masing – masing negara. Deklarasi ini dikeluarkan pada 16 November 1971, dan walaupun Singapura tidak mendukung secara penuh deklarasi ini, namun ketiga negara ini sepakat akan tiga hal, yaitu (Matthews, 2015):
- Keselamatan navigasi di Selat Malaka merupakan kewajiban dari ketiga littoral states dan membutuhkan kerjasama antar ketiga negara.
- Untuk mencapai sebuah kerjasama sepenuhnya, akan dibuat sebuah badan kerjasama yang beranggotakan tiga negara berkaitan saja.
- Keselamatan navigasi dan internasionalisasi selat dianggap sebagai dua isu yang terpisah dan berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H