Universitas adalah institusi pendidikan yang mampu melahirkan intelektual-intelektual kritis, termasuk kritis terhadap kebijakan pemerintah yang merusak alam dan menimbulkan banyak konflik sosial. Kebijakan di sektor pertambangan adalah salah satu kebijakan pemerintah yang berdampak pada kerusakan alam dan sosial. Pemikiran kritis intelektual dari perguruan tinggi terhadap kebijakan pertambangan adalah sebuah keniscayaan.Â
Namun kini, pemerintah seperti ingin membungkam suara kritis dari kampus terkait kebijakan sumberdaya alam. Pemerintah tidak akan menggunakan kekerasan untuk membungkam suara kritis tersebut. Para pendukung pemerintah, yang sebagian juga mantan aktifis, pasti tahu penggunaan kekerasan untuk membungkam suara kritis akan mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), apalagi pemerintahan Prabowo Subianto memiliki rekam jejak yang tidak begitu cemerlang di bidang HAM.
Cara untuk membungkam suara kritis tanpa kekerasan itu adalah dengan hegomoni. Menurut Gramsci, seorang filsuf Italia, hegomoni adalah penguasaan kelas dominan terhadap kelas di bawahnya. Ormas agama dan perguruan tinggi adalah institusi yang tepat untuk melakukan hegomoni itu. Untuk meredam perlawanan itulah simbol-simbol moral dan intelektual harus dikuasai dan digunakan sebagai alat hegomoni.
Terkait dengan itulah, segelintir elite politik di DPR saat ini sedang membahas revisi Undang Undang (UU) tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Mereka ingin melegalkan bagi-bagi konsesi tambang untuk organsiasi massa (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi. Sebuah langkah bunuh diri ekologi yang dilakukan elite politik Indonesia di parlemen.
Ormas agama adalah simbol moral, sementara perguruan tinggi adalah simbol intelektual. Pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan dan perguruan tinggi adalah upaya menggunakan simbol-simbol moral dan intelektual untuk melakukan hegomoni. Bila upaya hegomoni itu berhasil akan bisa melemahkan perlawanan masyarakat lokal tanpa kekerasan.
Ormas-ormas keagamaan yang mendapat konsesi tambang akan menormalisasi kerusakan alam dan sosial akibat tambang dengan penafsiran dari teks-teks agama. Dengan penafsiran teks-teks agama yang mendukung operasional tambang itu, para penentangnya akan diberikan label sebagai penista agama, atheis, hingga komunis.
Hal yang sama juga akan dilakukan oleh perguruan tinggi yang mendapatkan konsesi tambang. Mereka akan memproduksi dalil-dalil, yang seolah-olah ilmiah, untuk menjamin keberlangsungan ekstraksi sumberdaya alam tanpa perlawanan masyarakat lokal dan juga memutus solidaritas di tingkat nasional dan internasional. Â Para penentangnya pun akan diberikan label anti-sains, kurang berpendidikan dan sebagainya.
Dengan kacamata Gramsci itu, publik dapat melihat bahwa pemberian konsesi tambang untuk ormas dan perguruan tinggi itu bukanlah wujud kebaikan hati elite politik. Kebijakan  itu sarat dengan kepentingan ekonomi-politik segelintir elite. Mereka tidak peduli dengan rusaknya marwah ormas agama dan perguruan tinggi sebagai simbol moral dan intelektual. Pertanyaannya, apakah publik akan mengambil resiko itu hanya untuk sekedar memenuhi keinginan segelintir elite ekonomi-politik untuk mengeruk sumberdaya alam?
Publik harus bersuara. Marwah perguruan tinggi harus diselamatkan agar tidak menjadi alat hegomoni elite ekonomi dan politik. Publik juga harus mengingatkan pemerintah bahwa mereka seharusnya berpihak kepada mayoritas masyarakat bukan segelintir pemilik modal di sektor pertambangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI