Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konsultasi Publik Proyek JETP, Jalan Menuju Demokratisasi atau Hegemoni Wacana Transisi Energi?

10 Juni 2023   20:00 Diperbarui: 10 Juni 2023   20:02 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mendapat desakan dari publik agar pengelolaan proyek transisi energi dalam JETP (Just Energi Transition Partnership) lebih transparan, akhirnya Senin, 12 Juni 2023, akhirnya Sekretariat JETP  menggelar 'konsultasi publik' di salah satu hotel bintang di Jakarta. Tentu ini sebuah berita bagus, karena sebelumnya kerja-kerja JETP seperti berada di ruang tertutup yang lupus dari pantauan publik. Apakah konsultasi publik ini menjadi tanda bahwa Sekretariat JETP sudah mulai transparan dan partisipaatif? Jawabnya ternyata tidak mudah. Ada dua kemungkinan jawaban, iya dan tidak.

Kemungkinan pertama, jawabannya adalah ya. Sekretariat JETP mengakomodasi suara-suara publik yang menginginkan transparansi pengelolaan proyek transisi energi dalam JETP. Sekretariat JETP menyadari bahwa pengelolaan dana trilyunan rupiah akan berpotensi korupsi bila dilakukan di ruang tertutup dan jauh dari pantauan dan keterlibatan publik. Ruang tertutup dan gelap akan mengundang 'tikus-tikus' untuk mengambil keuntungan bagi pribadi dan kelompoknya. Di negeri ini sudah begitu banyak contoh korupsi yang dilakukan karena pengelolaan proyek dilakukan di ruang gelap dan tertutup.

Kemungkinan kedua, jawabannya adalah tidak. Bukan tidak mungkin kemudian konsultasi publik itu hanya untuk membangun pencitraan, utamanya kepada negara-negara donor, bahwa pengelolaan proyek JETP sudah transparan dan melibatkan publik. Sudah banyak contoh pula di negeri ini acara-acara yang diberikan label konsultasi publik hanya untuk pencitraan agar seolah-olah tata kelola proyek sudah transparan, partisipatif dan akuntable. 

Bukan hanya itu beberapa acara yang berlabel konsultasi publik, di negeri ini, juga digunakan sebagai ajang hegomoni wacana dari pihak-pihak yang memiliki kuasa. Dalam konteks JETP, tentu saja hegomoni ini terkait dengan dominasi wacana dari segelintir elite yang berkuasa (secara ekonomi maupun politik) kepada mayoritas publik.

Publik tentu berharap, konsultasi publik Sekretariat JETP bukan sekedar pencitraan dan hegomonii wacana elite. Publik tentu berharap bahwa konsultasi publik ini menjadi langkah awal bagi pengelolaan energi yang lebih demokratis.

Untuk mengetahui sejauh mana konsultasi publik dari Sekretariat JETP itu sebagai langkah awal menuju demokratisasi energi, kita perlu memastikan apakah hasil dari konsultasi publik itu nanti hanya sekedar dicatat dan dimasukan ke kotak sampah, atau benar-benar dijadikan pijakan dalam pengelolaan transisi energi.

Konsultasi publik akan menjadi ruang keterlibatan publik dalam transisi energi yang demokratis bila publik mendapatkan informasi yang akurat dan utuh tentang proyek JETP ini. Informasi yang akurat dan utuh ini penting karena ini akan menjadi pijakan bagi publik untuk mengambil keputusan keterlibatan seperti apa yang akan dipilih. Sayangnya, hingga kini informasi tentang JETP masih sepotong-potong. Sampai artikel ini ditulis, misalnya, belum ada informasi yang jelas mengenai komposisi pendanaan dari proyek JETP ini, berapa prosentase yang didanai dari Hibah, utang dengan bunga rendah dan komersial. 

Sekali lagi, publik tidak berharap konsultasi publik Sekretariat JETP sekedar pencitraan, yang bertujuan melakukan hegomoni wacana terkait transisi energi. Publik, ingin transisi energi adalah langkah awal bagi pengelolaan energi di Indonesia yang lebih demorkatis. Mungkinkah?

Informasi mengenai komposisi pendanaan ini penting karena akan menjadi indikator keadilan dalam transisi energi dalam JETP. Jika kemudian komposisi pendanaannya didominasi utang luar negeri dari negara-negara maju, mąka proyek JETP hanya bentuk lain dari kolonialisme energi yang diberikan label hijau. 

John locke mendefinisikan kolonialisme sebagai "kebijakan dan praktik kekuatan dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah. Dalam konteks transisi energi ini, kontrol yang itu terkait jaminan pasokan energi dari negara-negara berkembang ke industri-industri negara maju. Jika ini yang terjadi, maka transisi energi dalam JETP akan mengadopsi solusi-solusi palsu yang memperpanjang penggunaan energi fosil dengan menggunakan teknologi-teknologi yang diimpor dari negara-negara donor. Selain itu, jika kolonialisme hijau benar-benar terjadi di JETP, energi terbarukan yang dikembangkan pun akan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan skala besar. Pengembangan energi-energi terbarukan di tingkat komunitas akan diabaikan karena tidak akan bisa menjamin keamanan pasokan energi bagi industri-industri di negara maju. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun