Tahun lalu, di sela-sela KTT G20 di Bali, Indonesia meluncurkan skema pendanaan untuk transisi energi. Skema pendanaan itu adalah JETP (Just Energy Transition Partnership). Sebelumnya, Afrika Selatan telah menerima skema pendanaan JETP. Selanjutnya, Vietnam juga dikabarkan menerima pendanaan JETP.Â
Skema pendanaan JETP dimunculkan untuk membiayai transisi energi, yang memang tidak murah, apalagi di negara berkembang. Negara-negara kaya, yang lebih dulu merusak alam dengan kerakusannya terhadap energi fosil sejak revolusi industri, menggalang dana untuk transisi energi di negara berkembang.Â
Namun, rupanya penggalangan dana negara-negara kaya itu tidak murni didasari atas tanggung jawabnya atas utang ekologi, yang mereka buat sejak revolusi industri. Hal itu terbukti dengan penggalangan dana untuk transisi energi itu tidak 100% hibah, melainkan ada pendanaan yang berasal dari utang luar negeri. Â
Biasanya, dana utang disertai oleh hibah. Dana hibah biasanya digunakan untuk studi kelayakan atau kegiatan penunjang kegiatan inti yang nantinya dibiayai utang luar negeri. Biasanya, pula studi kelayakan dan kegiatan penunjang itu dilakukan oleh konsultan-konsultan luar negeri atau memiliki relasi dengan negara asal atau konsorsium negara pemberi utang.
Pertanyaan berikutnya, berapa persen porsi dana dari hibah dan utang luar negeri proyek JETP itu? Proyek-proyek apa saja yang didanai oleh dana hibah dan utan dalam JETP? Siapa saja yang terlibat dalam kegiatan penunjang yang didanai oleh hibah dan utang?
Dalam 100 hari JETP sejak diluncurkan, pertanyaan-pertanyaan itu seperti membentur dinding-dinding tebal di kantor Kementerian Koordinator Investasi dan Maritim, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Keterbukaan informasi JETP sangat buruk. Padahal, setiap rupiah dana dari utang harus dipertanggungjawabkan karena dibiayai oleh APBN dari hasil pajak rakyat. Bukan hanya itu, energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebijakan energi, termasuk transisi energi akan berdampak pada kehidupan Rakyat.Â
Tanpa keterbukaan informasi, rakyat tidak akan bisa terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan transisi energi yang dibiayai oleh skema JETP ini. Tanpa keterlibatan publik, kebijakan energi akan dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi-politik. Siapa elite ekonomi-politik di Indonesia itu? Sebagian elite ekonomi-politik itu adalah pemilik modal di bisnis minyak dan gas (migas) dan Batu Bara. Bagaimana mungkin kita akan melakukan transisi energi ke 100% terbarukan, bila kebijakan energinya dikendalikan oleh pemilik modal di bisnis energi fosil?Â
100 hari JETP ini memperlihatkan wajah bopeng dari keterbukaan informasi dan keterlibatan publik. Jika ini terus terjadi dan tidak diperbaiki, hampir dapat dipastikan agenda transisi energi dalam skema JETP akan menemui jalan buntu karena telah dibajak oleh elit ekonomi-politik pemilik modal di bisnis migas dan Batu Bara. Jika itu terjadi, rakyat sebagai pembayar pajak, yang akan menjadi korban utamanya. Rakyat harus membayar utang luar negeri untuk membiayai program transisi energi yang mereka tidak tahu dan terlibat. Rakyat juga harus membayar agenda transisi energi yang telah dibajak elite. Rakyat juga akan menjadi korban bencana ekologi akibat krisis iklim karena kegagalan mitigasi gas rumah kaca (GRK) dari energi fosil. Â Siapa rakyat itu? Rakyat itu adalah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H