Demonstrasi besar-besaran menentang UU Cipta Kerja atau Omnibus Law menyisakan jejak kelam sekelam UU yang diprotes itu sendiri. Jejak kelam itu adalah pembakaran dan perusakan puluhan halte bus Transjakarta.Â
Tentang jejak kelam UU Omnibus Law, penulis pernah menulis di Kompasiana dengan judul, Â Melihat Sisi Gelap Omnibus Law dan Omnibus Law dan Ancaman Krisis Ekologi. Jadi bila saat ini penulis menyorot jejak kelam yang terjadi di saat demonstrasi UU Cipta Kerja tidak ada kaitannya dengan konten dan proses pembentukan UU tersebut, yang menurut penulis memang perlu medapatkan kritik.
Pembakaran halte bus Transjakarta perlu mendapatkan kecaman keras dari publik. Pembakaran halte bus itu bukan saja tindakan tidak bertanggung jawab namun juga sebuah ekspresi diistirahatkannya akal sehat dalam demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.Â
Bagaimana tidak, satu-satunya pesan dari aksi pembakaran halte bus itu adalah bahwa para perusuh dalam aksi demonstrasi itu tidak bisa mengendalikan kemarahan dengan akal sehatnya. Penulis mencoba membandingkan dengan sebuah aksi demonstrasi di tahun 2000 an di Surabaya.
Pada tahun 2000-an di Surabaya terjadi aksi demonstrasi yang diakhiri dengan pembakaran gedung DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebuah partai politik tertentu.Â
Pesan dari dibakarnya gedung DPD sebuah parpol itu adalah sebuah perlawanan terhadap kebijakan parpol yang dianggap menganggu kepentingan yang diusung oleh demonstran. Meskipun sama-sama menggunakan kekerasan yang juga perlu disayangkan, pesan dari pembakaran gedung itu lebih jelas. Lantas, apa pesan dari pembakaran halte bus Transjakarta? Tidak jelas.
Protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja harusnya dimaknai sebagai protes terhadap kapitalisme. Secara singkat kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar.Â
Terkait dengan itu pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal. Nah, pertanyaannya apa kaitannya pembakaran halte Transjakarta dengan protes terhadap kapitalisme melalui demonstrasi pengesahan UU Cipta Kerja? Tidak ada kaitannya.
Halte bus Transjakarta adalah infrastruktur transportasi massal. Dalam politik transportasi kota, transportasi massal adalah bagian dari anti-tesis transportasi yang didasarkan pada penggunaan mobil pribadi yang selain bias kelas menengah-atas juga menjadi penyebab polusi udara. Jadi pembakaran halte bus transjakarta saat terjadi demonstrasi menolak  UU Cipta Kerja jelas sebuah tindakan yang melawan akal sehat.
Bukan hanya itu, akibat penghancuran infrastruktur transportasi massal saat demonstrasi UU Cipta Kerja di Jakarta itu, pemerintah harus menelan kerugian sebesar Rp.65 miliar. Sebuah kerugian yang tidak sedikit.Â
Andai saja uang sebesar itu digunakan untuk membangun rusun (rumah susun) bagi warga miskin kota, mungkin sudah ada dua atau tiga rusun yang terbangun.Â