Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cara Oligarki "Mengkudeta" Jokowi

16 September 2019   09:47 Diperbarui: 16 September 2019   09:57 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oligarki. Apaan tuh? Menurut pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat Prof. Jeffrey Winters, oligarki adalah sebuah sistem yang merujuk pada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (Oligark). Pertanyaan berikutnya adalah apakah oligarki itu ada di Indonesia?

Laporan Bank Dunia pada 2015, seperti ditulis di Kompas.com pada Agustus 2018,  menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya. Apa itu artinya? Artinya, seberapa pun tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia, tetap saja hanya 20 persen orang terkaya yang menikmatinya. Jadi oligarki ini sangat relevan di Indonesia. Ada 20% orang super kaya yang menjalankan politik pertahanan kekayaan material mereka agar tidak diganggu oleh 80 persen warga yang mengalami ketidakadilan.

Bagaimana caranya para oligark menjalankan politik pertahanan kekayaan itu? Jawabannya jelas, dengan menguasai negara. Penguasaan itu bisa secara personal hingga ke dalam regulasi. Nah mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Sangat mungkin.

Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi presiden sejak 2014 bukanlah bagian dari oligark. Ia bukan orang super kaya di negeri ini. Terkait dengan itulah kaum oligark perlu 'mengkudeta' Jokowi. Caranya, Jokowi harus dipisahkan dengan mayoritas rakyat di luar 20 persen orang super kaya itu. 

Operasionalnya adalah sekelompok oligarki merancang Rancangan Undang Undang (RUU) Revisi UU KPK. Revisi UU KPK yang dilakukan di saat injury time, saat anggota DPR periode 2014-2019 berakhir. Pilihan waktu untuk merevisi UU KPK di saat injury time itu bukanlah kebetulan. Itu by design. Sudah direncanakan dengan matang. Tujuannya, agar publik tidak terlibat secara substansi dalam perdebatan poin-poin yang akan direvisi.

Kenapa KPK menjadi sasaran kaum oligark untuk dilemahkan kemudian dikuasai? KPK selama ini adalah lembaga yang dipercaya publik. Sepak terjangnya telah membuat kaum oligark kebakaran jenggot. Apalagi lembaga anti-korupsi ini telah mulai bergerak mengusut korupsi di sektor sumberdaya alam. Sektor inilah selama ini yang menjadi objek pesta kaum oligark dengan meninggalkan kemiskinan dan kerusakan alam.

Bagaimana Presiden Jokowi, yang bukan bagian dari oligark, itu bersikap? Nampaknya, Jokowi mulai masuk perangkap mesin kudeta dari kaum oligark. Terbukti, Presiden Jokowi mengeluarkan surat persetujuan untuk membahas RUU Revisi UU KPK. Padahal kalau mau, selemah-lemahnya iman, Jokowi dapat menunda restunya itu hingga DPR periode 2019-2024 dilantik. 

Hanya dengan RUU Revisi UU KPK, kaum oligark bisa 'mengkudeta' Jokowi? Ternyata tidak. Dalam waktu yang bersamaan kaum oligark juga berencana mengajukan RUU Pertanahan. Munculnya RUU Pertanahan di akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 ini sangat aneh. Bahkan publik menilai proses pembahasan RUU Pertanahan ini dinilai tidak transparan.

Bahkan bila dipaksakan untuk disahkan menjadi Undang-Undang, RUU Pertanahan ini diprediksi memperparah krisis agraria. Tak heran berbagai pihak, dari kalangan petani hingga organisasi masyarakat sipil menyatakan penolakannya terhadap RUU Pertanahan ini. Salah satunya PP Muhammadiyah, oraganisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. Bahkan PP Muhammadiyah secara berani menilai bahwa RUU Pertanahan, yang sekarang sedang dikebut pembahasannya oleh DPR, bernuansa kolonial.

Berbagai kelompok masyarakat, akademisi hingga Komnas HAM telah membuat sebuah kajian mandiri terkait RUU Pertanahan ini. Menurut kajian itu setidaknya ada empat persoalan pokok yang kentara pada pasal-pasal bermasalah tersebut antara lain upaya penghilangan hak-hak masyarakat atas tanah, mempermudah penguasaan lahan atas nama investasi, menutup akses masyarakat atas tanah dan pemenjaraan bagi warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya.

Jika dalam Revisi UU KPK, para oligark ingin menguasai lambaga anti-korupsi yang sudah mulai menganggu bisnisnya, di UU Pertanahan, kaum oligark juga perlu menundukan perlawanan kaum tani yang sering dianggap menanggu aset tanah mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun