Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Periode ke-2, Penyingkiran atau Regenerasi Kaum Tani?

16 Mei 2019   10:47 Diperbarui: 16 Mei 2019   11:16 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Juni. Bagi kita, bangsa Indonesia, bulan Juni adalah bulan yang istimewa. Pada bulan itulah Pancasila dilahirkan.  Tanggal 1 Juni adalah tanggal kelahiran Pancasila. Kelahiran Pancasila ditandai dengan pidato Bung Karno di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Bila kita mengacu pada sosok Bung Karno, ada dua hal yang lekat pada diri proklamator itu, yaitu Pancasila dan Marhean. Kedua hal itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila kemudian dibahas dan menjadi dasar negara Republik Indonesia. Sedangkan Marhean menjadi ideologi politik Bung Karno dan beberapa partai politik di negeri ini.

Marhean sendiri, menurut Bung Karno, adalah nama seorang petani. Bung Karno mengabadikan nama petani itu menjadi nama ideologi sebuah gerakan politik. Begitu pentingnya posisi petani di hati Bung Karno sehingga menginspirasi untuk merumuskan sebuah ideologi pergerakan. Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana nasib petani di saat kita bergembira ria merayakan hari lahir Pancasila? Marilah kita lihat beberapa kejadian yang terjadi terhadap petani di negeri ini beberapa waktu terakhir ini.

"Saya datang ke Jakarta cuma minta Pak Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan masalah Kendeng," ujar  Patmi, perempuan 45 tahun dari Pati, Jawa Tengah. Yu Patmi, begitu ia akrab dipanggil adalah salah seorang warga yang gigih menolak pembangunan pabrik semen di Kendeng. Ia rela mengecor kakinya dengan semen di depan Istana Negara sebagai bentuk protes terhadap pembangunan pabrik semen di Kendeng.

Selasa, 21 Maret 2017 silam, Yu Patmi dipanggil Tuhan. Yu Patmi meninggal dunia saat perjuangannya membela hak-hak warga untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup kawasan Kendeng belum membuahkan hasil. Ia meninggal dunia dengan sangat terhormat.
Beberapa waktu yang lalu petani-petani Kendeng, Jawa Tengah mendatangi ke Istana Negara. Salah satu dari mereka adalah Yu Patmi. Mereka datang jauh-jauh ke Jakarta ingin bertemu Presiden Jokowi. Kedatangan mereka bukan untuk mendapatkan bingkisan sepeda dari presiden. Kedatangan mereka hanya ingin mengadukan nasibnya yang terancam disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya akibat proyek pembangunan pabrik semen.

Sebenarnya, bukan kali ini saja petani Kendeng menggelar aksi protes. Sebelumnya, pada Desember 2016, petani-petani Kendeng melakukan jalan kaki hingga ratusan kilometer dari Rembang menuju Semarang. Tujuannya sederhana, mendesak pemerintah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara.

Mengapa petani Kendeng begitu bersikeras menolak pembangunan pabrik semen di kawasannya? Alasannya sederhana. Mereka adalah para petani. Tanah dan air adalah sumber-sumber kehidupan bagi petani Kendeng. Pembangunan pabrik semen dinilai akan mengancam sumber air di pegunungan karst yang ada di pegunungan Kendeng. Dan itu artinya bencana bagi kehidupan mereka sebagai petani.

Petani Kendeng hanyalah salah satu korban dari model pembangunan. November tahun lalu, beberapa petani di Majalengka ditangkap dan mengalami kekerasan aparat keamanan. Penyebabnya, para petani itu ingin mempertahankan tanahnya yang akan digusur proyek pembangunan bandara internasional Jawa Barat.

Petani di Kulon Progo, Yogyakarta juga mengalami hal yang sama. Tanah subur yang selama ini menjadi sumber penghidupan petani Kulonprogo akan hilang digantikan oleh bandara baru Yogyakarta. Tentu bandara internasional Yogyakarta bukan diperuntukan bagi para petani itu, namun bagi mereka kelas menengah yang ingin menghabiskan uangnya untuk berwisata di Kota Yogyakarta.

Nasib pilu petani sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Di era Orde Baru, yang mengklaim sebagai rejim yang hendak melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, petani juga digusur dari sumber-sumber kehidupannya. Penggusuran petani untuk proyek waduk Kedung Ombo adalah  salah satu contoh penyingkiran petani dari sumber-sumber kehidupannya.

Seperti penggusuran-penggusuran lainnya, sebelum digusur, para petani yang melawan diberikan label negatif. Mereka diberi label sisa-sisa PKI (Partai Komunis Indonesia). Di era Orde Baru, bila seseorang atau komunitas sudah diberikan label PKI, maka kekerasan apapun menjadi sah dilakukan terhadap mereka.

Makin maraknya perdagangan bebas, nasib petani kian rentan. Bila sebelumnya petani disingkirkan dari tanah sebagai sumber-sumber kehidupannya.  Di era perdagangan bebas, petani juga dilucuti kedaulatannya atas binih. 

Kini, binih sudah dipatenkan oleh industri pertanian. Petani tidak memiliki pilihan lain selain tergantung pada binih-binih yang kini dikuasai industri. Petani disingkirkan dari tanah dan kini disingkirkan lagi dari binih. Sebuah model yang nyaris sempurna dalam pemiskinan petani. 

Pilunya nasib kaum tani itulah yang membuat anak-anak muda ogah menjadi petani.  Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengungkapkan, dalam kurun waktu 2008 hingga 2014, jumlah petani berusia 15-29 tahun semakin berkurang.

 Pada tahun 2008, jumlah petani berusia muda masih 9,3 juta orang. Namun, pada tahun 2012, jumlahnya tinggal 8 juta orang. Disingkirkannya petani dari sumber-sumber kehidupan mereka dalam kurun yang sangat panjang di negeri ini, membuat petani bukan menjadi pekerjaan pilihan bagi anak-anak muda.

Apa jadinya jika anak-anak muda tidak lagi berminat menjadi petani? Jawabnya gampang, pangan kita akan tergantung dari luar negeri. Jangan bicara tentang kedaulatan ekonomi politik bila pangan kita saja sudah tergantung dari impor. Hilangnya generasi petani akan berakibat fatal bagi masa depan negeri ini.

Regenerasi kaum tani adalah keniscayaan. Banyak cara untuk melakukan regenerasi petani. Namun, apapun caranya, satu hal yang harus menjadi pijakannya, yaitu  menghentikan kebijkan-kebijakan pembangunan yang menyingkirkan petani dari sumber-sumber kehidupannya. Petani tida bisa dipisahkan dari tanah, air dan binih. Menyingkirkan petani dari tanah, air dan binih adalah upaya nyata untuk membunuh regenerasi petani. 

Sebentar lagi Jokowi melanjutkan periode kedua menjadi Presiden Republik Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah di periode ke-2 ini Presiden Jokowi lebih memilih melakukan regenerasi kaum tani atau justru menyingkirkan kaum tani dari sumber-sumber kehidupannya? 

Mari kita tunggu gebrakan Jokowi di periode keduanya untuk regenerasi kaum tani. Jika Jokowi memilih melakukan regenerasi kaum tani, berarti ia melanjutkan pemikiran dan keberpihakan Bung Karno terhadap kaum tani. Tapi jika kebijakan-kebijakan di periode ke-2 justru menyingkirkan kaum tani dari sumber-sumber kehidupannya, maka Jokowi telah membelakangi pemikiran dan keberpihakan Bung Karno.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun