Tapi bukankah kampanye pilpres membutuhkan uang banyak, tidak salah dong kalau melakukan public fundraising? Benar. Tapi menjadi salah bila kemudian public fundraising untuk biaya kampanye itu diberikan label jihad harta.Â
Jihad dalam Islam memiliki posisi yang agung, tidak sepentasnya digunakan untuk label dari kegiatan public fundraising bagi kepentingan ekonomi-politik segelintir orang yang belum tentu memperjuangkan nilai-nilai Islam yang universal.
Sejenak kita tinggalkan label jihad Neno Warisman dalam public fundraising untuk Prabowo. Marilah kita fokus pada persoalan public fundrasing. Sah-sah aja melakukan public fundraising untuk kepentingan politik, termasuk untuk biaya kampanye pilpres 2019.Â
Namun, pertanyaannya kemudian adalah benarkah pasangan calon Prabowo-Sandi membutuhkan uang dari publik? Pertanyaan itu muncul karena Prabowo dan Sandiaga Uno adalah orang super kaya. Bahkan mungkin, mereka berdua, mungkin masuk dalam 1% penduduk Indonesia yang kaya raya.
Seperti ditulis kompas.com, Â Prabowo Subianto, memiliki total kekayaan sebesar Rp 1.952.013.493.659. Sementara calon wakil presiden pendamping Prabowo, Sandiaga Uno, total kekayaannya mencapai Rp 5.099.960.524.965.Â
Kekayaannya mencakup pada harta berupa tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin, harta bergerak lainnya, surat berharga, kas dan setara kas dan harta lainnya. Bandingkan kekayaan itu dengan pengeluaran warga miskin di Indonesia per bulannya yang hanya Rp. 400.000-an (Data BPS). Sangat jomplang bukan.
Nah, bagaimana mungkin kita, publik yang kekayaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan pasangan calon Prabowo-Sandiaga, menyumbangkan harta kita untuk kampanye pilpres mereka?Â
Jika itu terjadi namanya bukan jihad harta tapi penghisapan sumberdaya ekonomi publik untuk kepentingan politik segelintir orang kaya. Sebuah ketidakadilan yang ditampakan secara nyaris telanjang.Â
Semoga mbak Neno Warisman segera sadar bahwa seruan jihad harta untuk menyumbang dua orang super kaya guna membiayai kampanye pilpres mereka itu menyesatkan dan cenderung tidak mencerdaskan publik secara politik. Marilah kita tetap menggunakan akal sehat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H