Anies Baswedan kembali menjadi sorotan media massa. Bukan karena kerja nyatanya untuk warga Jakarta namun lebih karena polemik kata-kata terkait dengan pemasangan bendera di bambu jelang Asian Games.
Sejak dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies seringkali membuat polemik di Jakarta. Sekali lagi bukan karena kerja-kerja yang mengubah model pembangunan Gubernur DKI sebelumnya, tapi sekedar polemik kata-kata yang jauh dari penting bagi kehidupan warga Jakarta.
Lihat saja, soal bendera yang dipasang di bambu tadi. Polemiknya begitu berkepanjangan. Apa sih pentingnya? Mau dipasang di bambu, kayu, besi dan sebagainya, tidak perlu diperdebatkan. Tapi oleh Anies itu justru dianggap penting untuk diperdebatkan di ruang publik. Sementara persoalan yang lebih penting justru dihindari untuk segera dikerjakan.
Salah satu persoalan penting yang harus dikerjakan oleh Anies itu adalah menghentikan proyek 6 tol dalam kota. Itu menjadi persoalan penting karena selain sudah merupakan janji politiknya, juga akan berdampak buruk bagi warga kota Jakarta.
Bagaimana tidak, pembangunan 6 tol dalam kota itu dipastikan akan merangsang penggunaan mobil pribadi oleh segelintir orang-orang kaya di Jakarta. Jalan raya Ibukota pun akan dipenuhi oleh mobil-mobil mereka. Kemacetan lalu lintas semakin parah. Waktu produktif warga kota akan semakin tersita. Lebih penting lagi, asap dari knalpot mobil-mobil segelintir orang kaya yang difasilitasi oleh 6 tol baru itu akan membuat udara di Jakarta semakin beracun. Jika sudah demikian, biaya kesehatan warga kota akan semakin melonjak akibat polusi udara.
Apa yang dikerjakan Anies menyikapi proyek 6 tol dalam kota itu? Seperti biasa Anies mengelak bahwa ia telah mengingkari janji kampanye seraya menuding bahwa proyek 6 tol dalam kota Jakarta telah diambil alih pemerintah pusat. Padahal, setiap pembangunan jalan tol dimanapun juga ya urusannya dengan pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah menolak proyek itu ya harus berkirim surat resmi penolakan kepada pemerintah pusat.
Anehnya, meskipun mengatakan bahwa proyek 6 tol dalam kota adalah proyek pusat, tapi pelaksananya adalah konsursium yang salah satu anggotanya adalah BUMD DKI Jakarta.
Alih-alih membuat surat penolakan resmi pembangunan 6 tol dalam kota ke pemerintah pusat atau menarik keterlibatan BUMD DKI dalam konsursium pembangunan 6 tol dalam kota, Anies justru mengelak bahwa itu proyek pusat. Ketidakseriusan Pemprov DKI dalam menolak proyek 6 tol dalam kota itu juga terlihat dalam pernyataan Sandiaga Uno, sang Wakil Gubernur DKI Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno memastikan pembangunan 6 ruas tol dalam kota tetap berjalan dan akan segera dirampungkan. Karena itu, Sandi meminta polemik soal pembangunan 6 ruas tol dalam kota ini dihentikan.
Memang agak aneh dengan Anies dan Sandi ini. Mereka lebih suka mengurusi hal-hal yang tidak substansial terkait warga Jakarta. Namun, giliran sesuatu yang penting seperti ancaman polusi udara yang diakibatkan oleh proyek 6 tol dalam kota justru tidak diurus secara maksimal. Celakanya, sebagian orang yang ada di kelilingnya dulu adalah seorang ahli tata kota, penolak proyek 6 tol yang gigih di era Gubernur DKI sebalumnya.
Jadi, Pak Anies, kapan sebenarnya anda mulai bekerja untuk warga Jakarta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H