Ada yang bilang kecerdasan ada batasnya, tapi kebodohan tidak ada batasnya. Bila kebodohan yang tak berbatas itu hinggap di pemerintahan, itu berarti tanda bahaya. Namun, bila kebodohan tak berbatas itu menghinggapi oposisi dari pemerintahan itu bukan lagi tanda bahaya tapi sudah malapetaka.
Sayangnya, saat ini sebagian (tidak semua sih..) dari oposisi Jokowi menjadi garing. Apa itu Garing? Garing adalah istilah untuk anak yang sering melawak tapi lawakannya kerap kali tidak lucu. Dan itu yang diperlihatkan oposisi Jokowi saat ini.
Oposisi yang meneriakan 2019 ganti presiden dengan berbagai tagar di media sosial dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Bagaimana tidak, mereka hampir setiap detik mengkampanyekan 2019 ganti presiden, tanpa jelas siapa orang yang diajukan sebagai pengganti Jokowi. Itu ibarat, kita ingin mengganti kendaraan kita, tanpa tahu kendaraan apa yang nanti akan kita beli atau pinjam untuk mengganti kendaraan kita yang akan kita ganti.Â
Kelebihan dan kekurangan apa saja yang dimiliki kendaraan yang akan menggantikan kendaraan lama kita. Semua serba tidak jelas. Seperti membeli kucing dalam karung. Sebuah kampanye oposisi Jokowi yang garing.
Kegaringan  oposisi terus diperlihatkan dengan digelarnya deklarasi 2019 ganti presiden di depan toko milik anak Jokowi. Lha, presiden itu sebagai lembaga pemerintahan tidak punya anak kok, yang punya anak kan Jokowi. Anak Jokowi itu persoalan privat. Sedang presiden adalah persoalan publik. Kecuali bila anak Jokowi terlibat korupsi. Nampaknya, oposisi Jokowi tidak memahami hal-hal yang mendasar semacam ini. Bagaimana mungkin menjadi oposisi tapi tidak memahami hal-hal yang mendasar seperti ini? Garing amat ya..
Garingnya oposisi Jokowi sebenarnya bukan kali ini saja. Dulu kegaringan oposisi Jokowi juga ditunjukan dengan fitnah bahwa Jokowi adalah keturunan aktivis PKI (Partai Komunis Indonesia) bahkan Jokowi difitnah memiliki paham komunis. Anehnya, tuduhan terkait komunis itu bersamaan dengan tuduhan bahwa Jokowi itu berpaham ekonomi liberal. Bagi orang yang membaca buku Karl Marx dan Adam Smith tentu fitnah-fitnah oposisi Jokowi itu sangat garing.
Jokowi sebagai presiden tentu harus dikritik. Namun, kritik yang disampaikannya harus berakar dari persoalan riil yang terjadi di tengah masyarakat. Bukan seperti yang selama ini ditunjukan oleh opisisi 2019 ganti presiden. Sebuah oposisi yang tercerabut dari akar persoalan rakyat.
Jika mau, oposisi Jokowi harus memulai menyiapkan sosok yang lebih baik dari Jokowi. Sosok itu haruslah sosok, yang jika menjadi presiden, berani meminta pertanggungjawaban Lapindo untuk merehabilitasi kerusakan alam akibat semburan lumpur. Sosok pengganti Jokowi harus pula menghentikan pembangunan pabrik semen di Kendeng yang mengancam kehidupan kaum tani.Â
Sosok pengganti Jokowi juga harus berani menghentikan pembangunan bandara baru di Kulonprogo, Yogyakarta yang juga menggusur kaum tani. Sosok pengganti Jokowi nantinya juga harus menghentikan semua proyek reklamasi untuk kawasan komersial dan pemukiman mewah kaum kaya yang terjadi hampir di seluruh pantai di Indonesia yang menggusur kaum nelayan.Â
Sosok pengganti Jokowi nantinya juga harus berani meninjau ulang semua perjanjian perdagangan bebas yang mencekik kehidupan buruh, tani, nelayan dan kaum perempuan. Seperti itukah sosok yang akan diusung oposisi yang menamakan diri 2019 ganti presiden? Tidak jelas. Dan hampir pasti bukan sosok seperti itu.
Para penggerak oposisi 2019 ganti presiden mungkin justru tidak menginginkan presiden yang tegas melawan penindasan terhadap kaum buruh, tani, nelayan dan perempuan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak memiliki track record dalam membela kepentingan rakyat miskin dan tertindas. Mereka, kaum oposisi itu, justru memiliki rekam jejak untuk membela kepentingan elite penindas rakyat di masa lalunya. Garingnya oposisi Jokowi dan celakalah nasib kaum tani, buruh, nelayan, miskin kota dan perempuan.