Saya bergabung dengan Kompasiana sejak 2009. Wow...lama juga ya. Hingga kini sudah 393 artikel yang saya tulis (belum termasuk artikel ini ya). Dari 300 an artikel itu, 29 artikel menjadi headline. Dan yang membuat saya gembira adalah artikel saya sudah dibaca oleh 153,461 orang.Â
Saya bergabung dan menulis di Kompasiana dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya terhadap pemberitaan media massa arus utama yang bias elite dan pemilik modal. Pada tahun 2009, saya termasuk orang yang muak dengan pemberitaan media massa arus utama dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo. Hampir semua media massa arus utama kurang kritis dalam memberitakan kasus semburan lumpur itu.Â
Media massa arus utama tidak mempertanyakan kenapa tiba-tiba ganti rugi menjadi persoalan jual beli aset tanah dan rumah yang terendam lumpur. Mereka tidak pernah menyorot bagaimana ganti rugi terhadap penduduk terkait dengan dampak kesehatan dan kerusakan ekologi akibat semburan lumpur di Sidoarjo itu.
Berangkat dari kegelisahan itulah saya menulis di Kompasiana. Ibarat sebuah saluran, Kompasiana menjadi saluran alternatif. Inilah asyiknya menulis di Kompasiana. Menariknya, beberapa artikel di Kompasiana, ada yang justru menjadi viral dan kemudian menjadi pijakan pemberitaan media arus utama. Ini yang membuat saya tetap semangat menulis di Kompasiana.Â
Kebetulan saya rutin mengisi kelas menulis bagi aktivis organisasi masyarakat sipil. Dalam setiap sesi pelatihan, saya selalu menyarankan mereka menulis di blog seperti Kompasiana. Selain untuk melatih menulis juga untuk tetap menyuarakan pemikiran yang mereka agar menjadi sebuah wacana publik yang diperdebatkan. Dari wacana yang diperdebatkan publik inilah seringkali sebuah kebijakan dilahirkan. Bila media massa arus utama sudah dikuasai oleh elite politik dan pemodal, setidaknya masih ada Kompasiana.
Tahun ini adalah tahun ke-8 saya menulis di Kompasiana. Ada suka dan duka dalam menulis di Kompasiana selama 8 tahun ini. Dukanya kadang-kadang sudah begitu banyak kalimat yang dituliskan, giliran hendak ditayangkan, ada persoalan teknis. Akhirnya gagal tayang. Namun, sukanya, bila artikel kita menjadi headline dan dibaca banyak orang.
Kedepan, saya berharap Kompasiana tetap mandiri dan independen. Boleh saja menerima iklan dari mana saja, tapi jangan pernah memblokir artikel penulis yang kebetulan beriklan di Kompasiana. Independensi itu yang membuat sebagian penulis masih tetap menulis di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H