Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahalnya Sekolah Berlabel Agama

27 Mei 2016   13:04 Diperbarui: 27 Mei 2016   13:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi anak-anak orang kaya, sekolah bukanlah barang yang mewah. Mereka bisa saja memilih sekolah dengan kualitas terbaik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan bekal pendidikan yang baik itulah mereka bisa berdaya bahkan mempertahankan kelas sosialnya.

Namun, bagi sebagian kalangan lainnya, sekolah masih menjadi barang mewah. Bahkan tidak jarang kita mendengar seorang anak yang melakukan bunuh diri hanya karena ingin terus sekolah, sementara orang tuanya tidak mampu membiayainya. Sebuah ketimpangan sosial pun diciptakan ketika sekolah tidak lagi mampu diakses warga miskin.

Saat ini binih-binih ketimpangan sosial tersebut perlahan-lahan mulai diciptakan oleh institusi pendidikan yang bernama sekolah. Lihat saja, begitu banyaknya sekolah-sekolah bermutu didirikan dengan biaya mahal yang hampir pasti tidak bisa diakses oleh warga miskin. Padahal keluarga miskin sangat berkepentingan agar anaknya bisa bersekolah agar bisa melakukan mobilitar vertikal keluar dari jerat kemiskinan.

Di negeri ini, kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan. Orang menjadi miskin salah satu sebabnya karena tidak sekolah, namun sebaliknya karena miskin seseorang tidak bisa sekolah. Suka tidak suka lingkaran setan itu harus diputus. Agama melalui lembaga-lembaga pendidikannya memiliki peran untuk memutus lingkaran setan kemiskinan itu.

Namun sayang, justru sekolah-sekolah berlabel agama ini hampir mustahil diakses oleh keluarga miskin. Salah satu sekolah yang berlabel agama di kawasan Jakarta Timur dapat dijadikan contoh  Sekolah itu menyelenggarakan pendidikan sejak dini, dari kelompok bermain (KB) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Selain memakai label agama, sekolah itu juga mengklaim sebagai sekolah hijau (green school). Sebuah perpaduan label yang menarik untuk dijual. Sekolah yang berbasiskan nilai-nilai religius dan ramah lingkungan hidup. Lantas bagaimana dengan biaya pendidikan di sekolah tersebut?

Untuk tingkat kelompok bermain, sekolah itu mematok biaya sekitar Rp 10 juta pada tahun pertama, termasuk uang pangkal, uang sekolah dan biaya lainnya. Biaya pendidikan pun semakin mahal seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Untuk tingkat SMP, sekolah itu mematok biaya kurang lebih Rp 15 juta.

Anak buruh jelas tidak mampu membayar biaya sekolah yang mahalnya selangit itu. Semua agama mengajarkan pada pemeluknya untuk membela orang miskin. Namun entah mengapa ketika agama itu menjadi label di sebuah sekolah justru tidak bisa diakses orang miskin karena mahalnya.

Dari sinilah harusnya negara hadir. Negara bisa saja membuat peraturan agar sekolah berlabel agama yang mahal-mahal itu memberikan kuota bangkunya bagi anak-anak dari keluarga miskin. Ini bukan saja baik bagi anak-anak keluarga miskin agar bisa mendapatkan pendidikan bermutu di sekolah-sekolah berlabel agama, namun juga baik bagi anak-anak orang kaya yang sekolah di sekolah mahal itu. Dengan berteman dengan anak-anak dari keluarga miskin mereka bisa membangun empati di hatinya. Empati ini akan bermanfaat di kemudian hari bila mereka sudah menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun