Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neo-Orde Baru, Kado Pahit Jokowi untuk 18 Tahun Reformasi

12 Mei 2016   07:33 Diperbarui: 12 Mei 2016   07:59 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi kita semua memperingati 18 tahun reformasi. Ya 1998 adalah tonggak perjuangan mahasiswa menumbangkan rejim fasis, korup dan menindas Orde Baru. Selama hampir 32 tahun, pembodohan massal dilakukan oleh rejim korup itu. Hingga perlawanan kolektif muncul dari anak-anak muda. Rejim korup itu pun terjungkal.

Mulut dibungkam agar dusta berkuasa...bunyi syair almarhum WS Rendra itu mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana operasional rejim fasis Orde Baru itu.

Kini 18 tahun berlalu. Indonesia pun kini dipimpin oleh Presiden dari kalangan masyarakat sipil yang bebas dari beban sejarah Orde Baru. Orang itu bernama Joko Widodo alias Jokowi.

Latarbelakang boleh dari sipil dan bebas dari lingkaran Orde Baru. Namun, segala latarbelakang Jokowi tidak menjamin bangkitnya lagi rejim Orde Baru. Di 18 tahun reformasi inilah Presiden Jokowi memberikan kado pahitnya yang mengancam kebebasan berekspresi, berbagi informasi dan pengetahuan. Bagaimana tidak, Presiden Jokowi yang juga Panglima Tertinggi TNI itu justru merestui segala bentuk pembubaran diskusi, nonton bareng dan perampasan buku dengan mangatasnamakan pemberantasan penyebaran paham komunisme. Sama persis seperti di era Orde Baru.

Kini tanpa malu-malu tentara merampas buku-buku yang mereka nilai berbau komunisme. Ketika buku sudah dirampas, dari siniliah proyek pembodohan massal dimulai. Lagi-lagi ini mirip dengan Orde Baru.

Kenapa Jokowi, sosok presiden dari kalangan sipil itu, justru memberikan kado pahit bagi 18 tahun reformasi dengan dalih pemberantasan penyebaran paham komunisme?

Sulit untuk tidak mengatakan kebijakan Jokowi yang militeristik ini tidak terkait dengan agenda liberalisasi ekonomi secara gila-gilaan guna menggelar karpet merah bagi pemilik modal. Liberalisasi ekonomi gila-gilaan di rejim Jokowi ini mirip dengan yang dilakukan oleh pelopor model kapitalisme - neoliberal Presiden Amerika Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher pada awal 1980-an. Dan kini praktik itu diterapkan di Indonesia oleh Jokowi.

Karpet merah untuk investor ini memerlukan korban-korban dari kelompok petani, buruh, perempuan dan lingkungan hidup. Kelompok-kelompok itu harus dihancurkan, atau paling tidak dilemahkan dan dijinakan sehingga tidak bisa memberikan perlawanan. Dalih komunis adalah salah satu cara menghancurkan dan melemahkan gerakan perlawanan calon korban model pembangunan neoliberal ala Jokowi itu. Dalam konteks ini tak mengherankan, bila kemudian film dokumenter "Samin VS Semen", yang mendokumentasikan perjuangan rakyat melawan pabrik semen yang diduga merusak lingkungan hidup pun diberikan stigma pembawa pesan komunisme. Begitu pula film dokumenter "Rayuan Pulau Palsu", yang mendokumentasikan perlawanan nelayan terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta. 

Kedepan, tantu akan banyak stigma komunis yang akan dilekatkan pada kelompok-kelompok kritis yang mencoba melawan proyek neoliberal Jokowi. Persis seperti Orde Baru di saat jaya-jayanya. Menyedihkan, namun itulah kenyataannya. Neo-Orde Baru adalah kado pahit Presiden Jokowi untuk 18 tahun reformasi. Selamat menikmati Neo-Orde Baru sambil menyaksikan drama penggusuran rakyat atas nama pembangunan infrastruktur, pemukiman mewah dan kawasan komersial untuk segelintir kaum kaya di hampir seluruh kota pesisir di Indonesia. Jangan banyak bicara, baca buku, menulis. Segera istirahatkan saja akal sehat kita jika tidak mau dilekatkan stigma komunis pada diri kita. Selamat datang Neo-Orde Baru! Selamat datang rejim kapitalisme neoliberal ala Jokowi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun