Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasionalisme Doel Semprul, Merdeka!

16 Agustus 2013   23:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_272693" align="aligncenter" width="600" caption="Merdeka! foto dari: esc.go.ug (website Uganda)"][/caption]

.

Bulan sedang penuh bundar, menggantung seperti bohlam putih di langit yang gelap malam. Doel Semprul sedang bercengkerama di teras rumah dengan Mamat Sambat, anak semata wayangnya yang melompat-lompat di atas kursi rotan. Berdecit-decit bunyinya setiap kali si Mamat mendaratkan kaki-kaki kecilnya. Si Doel memandang jauh ke bulan.

“Mat…”, panggil Doel, “Nanti kamu harus sekolah ke luar negeri.”.

Padahal si Mamat baru saja masuk kelompok bermain di dekat rumah. Mamat asik melompat-lompat sambil tertawa-tawa girang. Dalam khayalannya ia sedang terbang.

“Bukan buat gaya-gaya-an. Tapi itu wujud semangat nasionalisme, Mat!.. “ ceracau si Doel. Mana ngerti si Mamat soal nasionalisme? Anak sekecil itu.

Indonesia tidak akan pernah merdeka, kalau dulu para Bapak Bangsa tidak pergi sekolah ke luar negeri. Jangankan merdeka, bahkan keinginan untuk merdeka..mimpi untuk merdeka ga akan pernah terbersit, jika Bung Hatta dan Bung Karno tidak sekolah ke luar negeri”

“Horee…luarr negeriiii. !”, sorak Mamat sambil mengangkat kedua tangannya dan bergaya seperti Bumblebee tokoh robot kesukaannya dari film Transformers, robot yang bisa berubah menjadi mobil balap. Si Doel masih menerawang memandang bulan yang di malam Agustusan ini bulat terang.

Dulu sekali..cuma budak, kuli dan babu yang pergi ke luar negeri. Mereka dibawa oleh tuan Londo mereka atau majikan Inggris mereka dari negeri yang belum dinamai Indonesia ini. Mereka pun terkagum-kagum melihat sebuah negeri yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka. Sebuah negeri dengan jalanannya yang bersih dan rapi, kanal-kanal yang jernih airnya, dan yang benderang lampu-lampunya seperti kunang-kunang sepanjang malam. Sementara itu jalanan di negerinya hanya tanah becek ditaburi kapur dan malamnya selalu kelam. Bagi mereka, kesengsaraan hidup adalah sebuah takdir yang menetap abadi.

Bung Hatta dan Bung Karno yang pergi ke luar negeri seratusan tahun kemudian, juga menyaksikan “keajaiban” dari peradaban maju itu. Tapi keduanya tak kemudian menyesali “nasib” negeri jajahan di mana mereka dilahirkan. Keduanya justru mendapatkan pencerahan dan kesadaran, bahwa adalah mungkin untuk sebuah bangsa menjadi maju dan menjadi beradab seperti yang terpampang di depan mata mereka saat itu.

Justru di luar negeri, muncul kesadaran, bahwa keterjajahan dan kebodohan bukanlah sebuah takdir yang tidak bisa dirubah. Tapi itu adalah sebuah kondisi yang diciptakan oleh negara-negara penjajah, agar supaya rakyat pribumi tak mampu memiliki keinginan apalagi bermimpi yang lebih tinggi dari macul dan menjadi kuli. Supaya terus “pasrah” untuk diinjak kepalanya, direndahkan martabatnya dan dihisap sampai mati darahnya!

“Juzzz!...Ciaat…Juzzzz!!...” makin heboh si Mamat menirukan gerakan berantem robot Transformers. Tangannya memukul-mukul udara.

Tapi Bung Hatta dan Bung Karno tidak bisa menerima pemikiran seperti itu. Yang dilihatnya di luar negeri, manusia adalah sama derajatnya. Semua orang kulit putih pucat itu, ternyata bisa juga tho untuk bersikap saling menghormati. Tidak ada manusia yang lebih rendah dari manusia lain. Semua dihargai sebagai manusia merdeka. Ah!...”Merdeka” adalah kata kuncinya! Merdeka adalah syarat utama. Boleh jadi nusantara masih miskin dan tak berpunya. Tapi sebagai negerinya manusia, ia tak boleh lagi dihinakan dan direndahkan. Merdeka adalah awal segala cita-cita!

Gemuruh bergolak di dalam dada Doel Semprul. Bendera merah putih yang diikat di tiang bambu di pagar rumahnya berkibar dalam terpa angin malam. Semakin bulat tekadnya untuk suatu hari nanti mengirim si Mamat –ketika sudah besar nanti- sekolah ke luar negeri. Bukan untuk gaya-gaya-an. Tapi untuk menyaksikan seberapa jauh kemerdekaan bisa dimaknai dan diisi. Untuk kemudian kembali pulang, dan membangun makna itu di sini!

“Merdekaa !....” lantang si Doel sambil mengepalkan tangannya ke udara. Si Mamat sedikit kaget tapi kemudian berdiri bertolak pinggang dengan gagahnya dan ikutan berteriak.

“Merrdekaaaa !...”

..

Tujuh Belas Agustus, Tahun ke-68 setelah Merdeka. And the Journey begins...

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun