Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Inspiring Angkring Nasi Kucing

8 April 2012   08:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:53 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

. Setelah seharian berjalan menjelajahi kota, malam ini aku menginginkan suasana Jogja yang sederhana saja. Jauh dari keramaian, dalam kedamaian temaram. Kutinggalkan hiruk-pikuk jalan Malioboro dan lampu-lampunya yang gemerlap di belakangku. Melangkahkan kaki ke utara, menyeberangi rel kereta yang menggaris melengkung ke Stasiun Tugu Jogja.  Berjalan sebentar dan kemudian membelok ke kiri. Memasuki warung angkringan sederhana yang berderet di sepanjang pagar area stasiun. Yang manapun sama saja suasananya..

13338761701896193331
13338761701896193331
Pengunjung boleh memilih, apakah mau duduk lesehan beralas tikar beratapkan langit malam atau duduk di bangku kayu panjang di bawah tenda. Dan aku memilih duduk temaram di warung Lek Man, di bangku kayu panjang di dekat tumpukan nasi bungkus, sate usus, telur dan gorengan. Cahaya merah membias di wajah, dari lidah api yang menari-nari di atas lampu minyak dekat pikulan. Di depanku tumpukan bungkusan nasi kucing, dengan ukuran kecil-kecil. Demikianlah maka disebut nasi kucing, karena porsinya memang seperti kita biasanya memberi  makan kucing piaraan di rumah. Tidak banyak.
13338749441834279833
13338749441834279833
. Biarlah malam ini perut mengalah kepada jiwa yang mengingnkan suasana. Tonight is not about the food, it is the ambient. Hanya ada dua menu nasi kucing yang bisa dipilih: oseng-oseng tempe atau sambal teri. Dibungkus dengan kertas lilin berwarna cokelat dan langsung siap disajikan. Untuk lauknya, ada lebih beragam. Sate usus, ati ampela, sate telur, gorengan dan ceker ayam. Nasi kucing dihidangkan di atas piring sederhana yang dialasi secarik kertas koran bekas! Sederhana sekali bukan? Sesekali peluit kereta memecah keterhanyutanku. Dan suara derak roda besi di atas relnya. Dan lokomotif diesel tampak melintas tak jauh di hadapan kita, memasuki atau keluar dari Stasiun Tugu. Dan pada langit di kejauhan, cahaya lampu sorot dari pasar malam nampak menggarisi langit di atas alun-alun jauh di sana. Dan aku kemudian kembali menghanyutkan diri dalam temaram warung Lek Man, dan suapan nasi kucingnya yang pada tahun 1950-an diperkenalkan oleh Mbah Pairo kakeknya. Sekarang ini mungkin ada puluhan warung angkringan di berbagai sudut kota dengan kreasi menu, penyajian dan lauknya.
13338750971955363340
13338750971955363340
. Tak perlu terburu-buru menyantapnya. Karena warung buka hingga dini hari dan waktu seakan tak perlu dirisaukan disini. Anak-anak muda bercengkerama sambil duduk lesehan. Sebagian merebahkan diri tiduran di atas tikar pandan, menghitung bintang di langit malam. Sekelompok pemusik jalanan bergerombol di sudut, mencoba lagu-lagu baru dengan gitar akustiknya. Sahabat dan teman berjumpa bertukar cerita sambil menyeruput kopi joss panas khas warung ini. Pasangan menikmati bungkusan nasi kucing sepiring berdua. Sesendok demi sesendok nasi kucing yang sedikit dan sederhana. Dan aku melarutkan diri dalam temaram dunia kecil sederhana ini. Merasakan betapa kehidupan tetap bisa terus berjalan meskipun tanpa kemegahan ataupun gemerlap kemewahan... Duniapun bisa hidup dalam temaram... . Oleh-Oleh Kuliner Unik Jogja. Foto-foto koleksi pribadi. .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun