. Setelah seharian berjalan menjelajahi kota, malam ini aku menginginkan suasana Jogja yang sederhana saja. Jauh dari keramaian, dalam kedamaian temaram. Kutinggalkan hiruk-pikuk jalan Malioboro dan lampu-lampunya yang gemerlap di belakangku. Melangkahkan kaki ke utara, menyeberangi rel kereta yang menggaris melengkung ke Stasiun Tugu Jogja. Berjalan sebentar dan kemudian membelok ke kiri. Memasuki warung angkringan sederhana yang berderet di sepanjang pagar area stasiun. Yang manapun sama saja suasananya..
Pengunjung boleh memilih, apakah mau duduk lesehan beralas tikar beratapkan langit malam atau duduk di bangku kayu panjang di bawah tenda. Dan aku memilih duduk temaram di warung
Lek Man, di bangku kayu panjang di dekat tumpukan nasi bungkus, sate usus, telur dan gorengan. Cahaya merah membias di wajah, dari lidah api yang menari-nari di atas lampu minyak dekat pikulan. Di depanku tumpukan bungkusan nasi kucing, dengan ukuran kecil-kecil. Demikianlah maka disebut
nasi kucing, karena porsinya memang seperti kita biasanya memberi makan kucing piaraan di rumah. Tidak banyak.
. Biarlah malam ini perut mengalah kepada jiwa yang mengingnkan suasana.
Tonight is not about the food, it is the ambient. Hanya ada dua menu nasi kucing yang bisa dipilih:
oseng-oseng tempe atau
sambal teri. Dibungkus dengan kertas lilin berwarna cokelat dan langsung siap disajikan. Untuk lauknya, ada lebih beragam. Sate usus, ati ampela, sate telur, gorengan dan
ceker ayam. Nasi kucing dihidangkan di atas piring sederhana yang dialasi secarik kertas koran bekas! Sederhana sekali bukan? Sesekali peluit kereta memecah keterhanyutanku. Dan suara derak roda besi di atas relnya. Dan lokomotif diesel tampak melintas tak jauh di hadapan kita, memasuki atau keluar dari Stasiun Tugu. Dan pada langit di kejauhan, cahaya lampu sorot dari pasar malam nampak menggarisi langit di atas alun-alun jauh di sana. Dan aku kemudian kembali menghanyutkan diri dalam temaram warung Lek Man, dan suapan nasi kucingnya yang pada tahun 1950-an diperkenalkan oleh Mbah Pairo kakeknya. Sekarang ini mungkin ada puluhan warung angkringan di berbagai sudut kota dengan kreasi menu, penyajian dan lauknya.
. Tak perlu terburu-buru menyantapnya. Karena warung buka hingga dini hari dan waktu seakan tak perlu dirisaukan disini. Anak-anak muda bercengkerama sambil duduk lesehan. Sebagian merebahkan diri tiduran di atas tikar pandan, menghitung bintang di langit malam. Sekelompok pemusik jalanan bergerombol di sudut, mencoba lagu-lagu baru dengan gitar akustiknya. Sahabat dan teman berjumpa bertukar cerita sambil menyeruput kopi joss panas khas warung ini. Pasangan menikmati bungkusan nasi kucing sepiring berdua. Sesendok demi sesendok nasi kucing yang sedikit dan sederhana. Dan aku melarutkan diri dalam temaram dunia kecil sederhana ini. Merasakan betapa kehidupan tetap bisa terus berjalan meskipun tanpa kemegahan ataupun gemerlap kemewahan... Duniapun bisa hidup dalam temaram... . Oleh-Oleh
Kuliner Unik Jogja. Foto-foto koleksi pribadi. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya