Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tongseng Paling Enak Sedunia

31 Maret 2012   13:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:12 6762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

. Hujan baru selesai membasahi Jogja, mengguyurnya sejak sore tadi. Selepas senja sedingin begini, apa lagi yang lebih enak melebihi menyantap makan malam yang panas-panas beruap? Mengisi perut yang sudah menjerit lapar dengan kuah hangat dan aroma harum daging kambing panas dalam semangkuk tongseng khas Muntilan. "Tongseng yang paling enak sedunia!..", janji seorang sahabat yang menjemput kami malam ini sambil mengacungkan jempolnya. Meyakinkan kami bahwa penilaiannya tidak perlu diragukan. Kami tertawa saja. Ayolah, kami percayakan nasib perut kami malam ini kepadanya.

1333202377990114976
1333202377990114976
Mobil pun melaju di jalanan yang basah, keluar dari kota yang bahkan malamnya juga puisi.  Lengang jalan menuju ke arah Borobudur, sehingga mobil bisa dipacu agak cepat. Obrolan seputar deskripsi betapa enaknya tongseng Muntilan semakin membuat kami berkali-kali menelan ludah dan perut kami semakin menjerit-jerit, "Cepaat..cepaat!...". Mobil dipacu membelah malam dan tak lama kemudian kami memasuki kota Muntilan, sebuah kota kecil yang cuma berjarak tigapuluh kilometer dari Jogja dengan deretan rumah toko di sepanjang jalan utamanya. Meski banyak warung makan yang menawarkan tongseng (dan sate juga gule kambing) di kota ini, dan semuanya terkenal enak, malam ini  sahabat kami memilihkan sebuah warung sederhana di kawasan Sayangan.  Warung bertenda merah di pinggir jalan, di antara deretan belasan warung tenda lainnya. "Sate Tongseng Mirah", begitu yang tertulis di tenda plastik digital print penuh garis lipatan. ..
1333202536877767189
1333202536877767189
Kepulan uap menyebarkan wangi daging kambing yang ditumis bersama kol, bawang, tomat dan bumbu-bumbu. Pak Basuki mengaduknya pelan-pelan di dalam wajan kecil yang dipanaskan dengan arang. Sudah lebih dari tiga puluh tahun ia melakukan ini, setiap malam sejak ia membantu orangtuanya berjualan tongseng. Kini ia membuka warung sendiri di sini, juga sudah dua puluh tahunan di Sayangan ini. Ia tahu bahwa memasak tongseng adalah sebuah seni, yang harus dilakukan dengan hati. Tidak asal panas, tidak asal mengaduk, tidak asal matang. Setiap adukan harus disertai dengan perasaan. Dan panas harus diberikan dengan pelan-pelan oleh arang-arang yg dibakar di tungku tanah liatnya. Tidak boleh dengan kompor gas apalagi kompor listrik yang terlalu "keras" apinya. Apinya harus "lembut" sehingga memberi kematangan yang juga lebih meresap. "Cabenya mau berapa, Mas?.." tanya Pak Basuki sangat ramah. Jika ingin pedas, cabenya dimasukkan dua ke dalam wajan. Jika mau sedikit pedas, cuma separuh yang dicampurkan. Dan pedas cabenya segera larut dalam kuah panas, menebarkan uap yang semakin harum menggoda... .. Tongseng dihidangkan di atas piring sederhana, dengan cara yang sederhana. Hanya ia dan sepiring nasi putih. Dari piring tongseng uapnya yang putih mengepul-ngepul. Setiap kali kita menyendoknya, semakin banyak uapnya terasa hangat menyentuh pipi kita. Hmmm...... Suapan pertama benar-benar mengalirkan kesegaran. Kuahnya yang panas, aroma bumbunya yang tidak terlalu keras, dagingnya yang empuk dan pedasnya yang pas....tongseng ini benar-benar lembut menyegarkan! Suapan kedua terasa semakin melekat bumbunya. Suapan ketiga adalah saat dimana kita ingin menyeruput kuahnya lebih banyak lagi. Panas dan pedas. Dan kini anda mulai merasakan butiran keringat terlahir di kulit kepala, sebutir demi sebutir.
1333200737421151189
1333200737421151189
Oiya, sudah jauh-jauh mencari tak lupa kami memesan sate kambing sebagai pendampingnya. Sate disajikan tanpa tusuknya, juga disajikan di atas piring sederhana yang disiram dengan bumbu kecap dan acar. Kelembutan dagingnya sangat memanjakan lidah. Beginilah rasanya jika sate dibakar dengan api tungku tanah liat. Tak ada rasa pahit akibat gosong. Yang tinggal hanyalah kekenyalan yang lembut yang merata pada setiap gigitan. Ahh... Kami saling memandang, dan mengangguk-anggukkan kepala. Moment of the truth: Ya, inilah tongseng paling enak sedunia!.... :) .. Oleh-oleh Kuliner dari Jogja. Foto2 koleksi pribadi. .
1333200808115650300
1333200808115650300

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun